I.
PENDAHULUAN
Istilah dermatofitosis harus dibedakan
dengan dermatomikosis. Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang
mengandung zat tanduk atau stratum korneum pada
lapisan epidermis di kulit, rambut dan kuku yang disebabkan oleh golongan jamur
dermatofita. Dermatomikosis merupakan arti umum, yaitu semua penyakit jamur
yang menyerang kulit.(1)
Tinea pedis merupakan infeksi
dermatofita pada kaki terutama mengenai sela jari dan telapak kaki sedangkan
yang terdapat pada bagian dorsal pedis dianggap sebagai tinea korporis.
Keadaan lembab dan hangat pada sela jari kaki karena bersepatu dan berkaos kaki
disertai daerah tropis yang lembab mengakibatkan pertumbuhan jamur makin subur.
Efek ini lebih nyata pada sela jari kaki keempat dan kelima, dan lokasi ini
paling sering terkena. Kenyataaannya, tinea
pedis jarang ditemukan pada populasi yang tidak menggunakan sepatu. Sinonim
dari tinea pedis adalah foot ringworm,
athlete foot, foot mycosis. (2,3)
II.
EPIDEMIOLOGI
Tinea pedis
terdapat di seluruh
dunia sebagai dermatofitosis yang paling sering terjadi. Meningkatnya insidensi tinea pedis mulai pada akhir abad
ke-19 sehubungan dengan penyebaran Trichophytonrubrum ke Eropa dan Amerika. Hal ini dipengaruhi oleh perjalanan orang
keliling dunia, pendudukan koloni oleh Inggris dan Perancis pada abad ke-19 dan
awal abad ke-20 dan migrasi penduduk selama perang dunia kedua. Beberapa
penulis berspekulasi bahwa area endemik spesies ini bermula di Asia Tenggara. (2)
Tingkat
prevalensi tinea pedis secara nyata diketahui karena pasien tidak mencari
nasihat medis kecuali kualitas hidup mereka dipengaruhi, karena ini bukan penyakit
yang mengancam jiwa. Diperkirakan
10% dari jumlah penduduk
di banyak negara menderita penyakit
ini. Frekuensi tinea pedis di Eropa dan Amerika Utara berkisar 15-30% dan pada
beberapa masyarakat tertentu lebih tinggi, misalnya buruh tambang (sampai 70%)
dan atlit. Tinea pedis lazim ditemukan pada daerah beriklim tropis dan sedang. (2,3,5)
Tinea pedis
lebih sering terjadi pada usia dewasa daripada anak remaja terutama pada
laki-laki dan jarang pada perempuan dan anak-anak. Kemungkinan infeksi berkaitan
dengan paparan ulangan dermatofita sehingga orang yang menggunakan fasilitas
mandi umum seperti pancuran, kolam renang, kamar mandi lebih cenderung
terinfeksi. (2-4)
III.
ETIOLOGI
Jamur penyebab tinea
pedis yang paling umum ialah Trichophyton
rubrum (paling sering), T.
interdigitale, T. tonsurans
(sering pada anak) dan Epidermophyton floccosum.(22) T.
rubrum lazimnya menyebabkan lesi yang hiperkeratotik,
kering menyerupai bentuk sepatu sandal (mocassinlike)
pada kaki; T. mentagrophyte seringkali menimbulkan lesi yang vesikular dan lebih
meradang sedangkan E. floccosum bisa
menyebabkan salah satu diantara dua pola lesi diatas. (1-4)
IV.
PATOGENESIS
Jamur superfisial harus menghadapi beberapa kendala saat
menginvasi jaringan keratin. Jamur harus tahan terhadap efek sinar ultraviolet, variasi suhu dan kelembaban, persaingan dengan flora
normal, asam lemak fungistatik dan sphingosines yang diproduksi oleh
keratinosit. Setelah proses adheren, spora harus tumbuh dan menembus stratum
korneum dengan kecepatan lebih cepat daripada proses proses deskuamasi. Proses penetrasi ini dilakukan melalui sekresi proteinase,
lipase, dan enzim musinolitik, yang juga memberikan nutrisi. Trauma dan maserasi
juga membantu terjadinya penetrasi. Mekanisme pertahanan baru muncul setelah
lapisan epidermis yang lebih dalam telah dicapai, termasuk kompetisi dengan zat
besi oleh transferin tidak tersaturasi dan juga penghambatan pertumbuhan jamur oleh progesteron. Di tingkat ini, derajat peradangan sangat tergantung pada
aktivasi sistem kekebalan tubuh. (4)
Keadaan basah dan
hangat dalam sepatu memainkan peran penting dalam pertumbuhan jamur. Selain itu
hiperhidrosis, akrosianosis dan maserasi sela jari merupakan faktor
predisposisi timbulnya infeksi jamur pada kulit. Sekitar 60-80% dari seluruh
penderita dengan gangguan sirkulasi (arteri dan vena) kronik akibat
onikomikosis dan/atau tinea pedis. Jamur penyebab ada di mana-mana dan sporanya tetap
patogenik selama berbulan-bulan di
lingkungan
sekitar manusia seperti sepatu, kolam renang, gedung olahraga, kamar mandi dan
karpet. (2)
Bukti
eksperimen menunjukkan bahwa pentingnya faktor maserasi pada infeksi dermatofita sela jari.
Keadaan basah tersebut menunjang pertumbuhan jamur dan merusak stratum korneum
pada saat yang bersamaan. Peningkatan flora bakteri secara serentak mungkin dan
bisa juga memainkan peran. Terdapat bukti tambahan bahwa selama beberapa
episode simtomatik pada tinea pedis kronik, bakteri seperti coryneform bisa berperan sebagai
ko-patogenesis penting, tetapi apakah bakteri tersebut membantu memulai infeksi
baru masih belum diketahui. (2)
V.
GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis dari tinea pedis dapat dibedakan
berdasarkan tipe:
- Interdigitalis
Bentuk
ini adalah yang tersering terjadi pada pasien tinea pedis. Di antara jari IV dan
V terlihat fisura yang dilingkari sisik halus dan tipis. Kelainan ini dapat
meluas ke bawah jari (subdigital) dan juga ke sela jari yang lain. Oleh karena
daerah ini lembab, maka sering terdapat maserasi. Aspek klinis maserasi berupa kulit putih
dan rapuh. Bila bagian kulit yang mati ini dibersihkan, maka akan terlihat
kulit baru, yang pada umumnya juga telah diserang oleh jamur.(1) Jika perspirasi berlebihan (memakai sepatu karet/boot, mobil yang terlalu panas) maka inflamasi akut akan terjadi
sehingga pasien terasa sangat gatal.(7) Bentuk klinis ini dapat berlangsung
bertahun-tahun dengan menimbulkan sedikit keluhan sama sekali. Kelainan ini
dapat disertai infeksi sekunder oleh bakteri sehingga terjadi selulitis,
limfangitis dan limfadenitis.(1)
Gambar 1 : Tinea pedis tipe interdigiti*
- Moccasin foot (plantar)
* Dikutip dari kepustakaan no.10
|
Tinea
pedis tipe moccasin atau Squamous-Hyperkeratotic Type umumnya bersifat
hiperkeratosis yang bersisik dan biasanya asimetris yang disebut foci. (7) Seluruh kaki, dari
telapak, tepi sampai punggung kaki terlihat kulit menebal dan bersisik; eritema
biasanya ringan dan terutama terlihat pada bagian tepi lesi. Di bagian tepi
lesi dapat pula dilihat papul dan kadang-kadang vesikel.(1) Tipe ini adalah bentuk kronik tinea yang
biasanya resisten terhadap pengobatan. (6,21)
Gambar 2 : Tinea pedis pada telapak kaki*
- Lesi Vesikobulosa
Bentuk
ini adalah subakut yang terlihat vesikel, vesiko-pustul dan kadang-kadang bula
yang terisi cairan jernih. Kelainan ini dapat mulai pada daerah sela jari,
kemudian meluas ke punggung kaki atau telapak kaki. Setelah pecah, vesikel
tersebut meninggalkan sisik yang berbentuk lingkaran yang disebut koleret.
Keadaan tersebut menimbulkan gatal yang sangat hebat. Infeksi sekunder dapat
terjadi juga pada bentuk selulitis, limfangitis dan kadang-kadang menyerupai
erisipelas. Jamur juga didapati pada atap vesikel.(1,6,7)
Gambar 3: Tinea pedis; vesikel yang meluas ke punggung
kaki**
- Tipe Ulseratif
Tipe ini merupakan penyebaran dari tipe interdigiti
yang meluas ke dermis akibat maserasi dan infeksi sekunder (bakteri); ulkus dan
erosi pada sela-sela jari; dapat dilihat pada pasien yang imunokompromais dan
pasien diabetes. (3,8)
|
Gambar 4 : Tinea pedis tipe ulseratif *
* Dikutip dari kepustakaan no. 10
** Dikutip dari kepustakaan no. 10
VI.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.
Pemeriksaan
Kalium Hidroksida (KOH) pada kerokan sisik kulit akan terlihat hifa bersepta.
Pemeriksaan ini sangat menunjang diagnosis dermatofitosis. KOH digunakan untuk
mengencerkan jaringan epitel sehingga hifa akan jelas kelihatan di bawah
mikroskop. Kulit dari bagian tepi kelainan sampai dengan bagian sedikit di luar
kelainan sisik kulit dikerok dengan
pisau tumpul steril dan diletakkan di atas gelas kaca, kemudian ditambah 1-2
tetes larutan KOH dan ditunggu selama 15-20 menit untuk melarutkan jaringan,
setelah itu dilakukan pemanasan. Tinea pedis
tipe vesikobulosa, kerokan diambil pada atap bula untuk mendeteksi hifa.(1,8,18)
Gambar 5 : KOH: Tampak hifa dan spora (mikrokonidia)**
* Dikutip dari kepustakaan no. 10
** Dikutip dari kepustakaan no. 16
|
3.
Yang dianggap paling baik
adalah medium agar dekstrosa Sabouraud. Media
agar ini ditambahkan dengan
antibiotik (kloramfenikol
atau sikloheksimid).(1,8)
Gambar 6 : Trichophyton
rubrum; koloni Downy*
4.
Pemeriksaan
histopatologi, karakteristik dari tinea pedis atau tinea manum adalah adanya
akantosis, hiperkeratosis dan celah (infiltrasi perivaskuler superfisialis
kronik pada dermis).
(8,18)
Gambar 7 : Gambaran histopatologi dari tinea pedis;
hifa pada lapisan superfisial dari epidermis **
5.
* Dikutip dari kepustakaan no. 16
** Dikutip dari kepustakaan no. 22
|
VII. DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gejala klinis khas.
Pemeriksaaan laboratorium berupa a) Pemeriksaan langsung dengan KOH 10-20% ditemukan
hifa yaitu double conture (dua garis
lurus sejajar dan transparan), dikotomi (bercabang dua) dan bersepta. Selain
itu di dapatkan artrokonidia yaitu deretan spora di ujung hifa. Hasil KOH (-)
tidak menyingkirkan diagnosis bila klinis menyokong. b) Kultur ditemukan
dermatofit. (8,10)
VIII. DIAGNOSIS BANDING
Tinea pedis
harus dibedakan dengan dermatitis, yang biasanya batasnya tidak jelas, bagian
tepi tidak lebih aktif daripada bagian tengah. Predileksinya pada bagian yang
kontak dengan dengan sepatu, kaos kaki, bedak kaki dan sebagainya. Adanya
riwayat pengunaan sepatu baru. Tidak ditemukan jamur pada kultur tetapi hanya
tanda-tanda peradangan. Dermatitis kontak akan memberikan tes tempel positif,
sedangkan pada tinea pedis hasilnya negatif. (1,9)
Gambar 4 : Dermatitis kontak*
2. Pomfolix
* Dikutip dari kepustakaan no. 10
|
A B
Gambar 5 :
Gambar A dan B merupakan ekzema vesikuler ‘pomfolix’ pada individu atopi
*
Mengenai
telapak kaki; jarang terdapat pustul, menebal, lesi yang batas jelas; psoriasis
dapat ditemukan pada bagian tubuh yang lain dan pada psoriasis terdapat
fenomena tetesan lilin, Auspitz dan Kobner. Tidak didapatkan jamur pada
pemeriksaan kulit.(9)
A B
Gambar A menunjukan psoriasis dengan eritrodermi eksfoliatif
. Gambar B menunjukkan hiperkeratotik psoriasis yang simetri**.
Lesi
dapat memburuk dan berwarna putih, erosi disertai maserasi pada telapak kaki
dan bau yang sangat busuk. (9)
* Dikutip
dari kepustakaan no. 10
** Dikutip dari kepustakaan no. 10
|
IX. PENATALAKSANAAN DAN PENCEGAHAN
Secara
umum penatalaksanaan tinea
pedis
didasarkan atas klasifikasi dan tipenya
Tabel 1. Klasifikasi jenis Tinea Pedis dan
pengobatannya (3,4)
Tipe
|
Organisme
Penyebab
|
Gejala Klinis
|
Pengobatan
|
|||||||
Moccasin
|
|
Hiperkeratosis
yang difus, eritema dan retakan pada permukaan telapak kaki;
pada umumnya sifatnya kronik dan sulit disembuhkan; berhubungan dengan
defisiensi Cell Mediated Immunity (CMI)
|
Antifungal
topikal
disertai dengan obat-obatan keratolitik asam salisilat, urea dan asam laktat untuk
mengurangi hiperkeratosis; dapat juga ditambahkan dengan obat-obatan oral
|
|||||||
Interdigital
|
|
Tipe
yang paling sering; eritema, krusta dan maserasi yang terjadi pada sela-sela
jari kaki,
|
Obat-obatan
topikal; bisa juga menggunakan obat-obatan oral dan
pemberian antibiotik jika terdapat infeksi bakteri; kronik : ammonium klorida
hexahidrate 20 %
|
|||||||
Inflamasi
/ Vesikobulosa
|
|
Vesikel
dan bula pada pertengahan kaki; berhubungan dengan reaksi
dermatofit
|
Obat-obatan
topikal biasanya cukup pada fase akut, namun apabila dalam keadaan berat maka
indikasi pemberian glukokortikoid
|
|||||||
Ulseratif
|
|
Eksaserbasi
pada daerah interdigital; Ulserasi dan
erosi; biasanya terdapat infeksi sekunder oleh bakteri; biasanya terdapat
pada pasien imunokompromais dan pasien
diabetes
|
Obat-obatan
topikal; antibiotik digunakan apabila terdapat infeksi sekunder
|
A.
ANTIFUNGAL
TOPIKAL
Obat topikal digunakan untuk mengobati penyakit
jamur yang terlokalisir. Efek samping dari obat-obatan ini sangat minimal,
biasanya terjadi dermatitis kontak alergi, yang biasanya terbuat dari alkohol atau komponen yang lain. (3)
a. Imidazol
Topikal. Efektif untuk semua jenis tinea pedis tetapi lebih cocok pada pengobatan tinea pedis
interdigitalis
karena efektif pada dermatofit dan kandida.(11,18)
-
Klotrimazole
1 %. Antifungal yang berspektrum luas
dengan menghambat pertumbuhan bentuk yeast
jamur. Obat dioleskan
dua kali sehari dan diberikan sampai waktu 2-4 minggu. Efek samping obat ini dapat terjadi rasa terbakar,
eritema, edema dan gatal.
-
Ketokonazole 2 % krim merupakan antifungal
berspektrum luas golongan Imidazol;
menghambat sintesis ergosterol, menyebabkan komponen sel yang mengecil hingga
menyebabkan kematian sel jamur.
Obat diberikan selama 2-4 minggu.
-
Mikonazol krim, bekerja merusak membran
sel jamur dengan menghambat biosintesis ergosterol sehingga permeabilitas sel
meningkat yang menyebabkan keluarnya zat nutrisi jamur hingga berakibat pada
kematian sel jamur. Lotion 2 %
bekerja pada daerah-daerah intertriginosa. Pengobatan umumnya dalam jangka waktu 2-6 minggu.
b. Tolnaftat 1%
merupakan suatu tiokarbamat yang efektif untuk sebagian besar dermatofitosis
tapi tidak efektif terhadap kandida. Digunakan secara lokal 2-3 kali sehari.
Rasa gatal akan hilang dalam 24-72 jam. Lesi interdigital oleh jamur yang
rentan dapat sembuh antara 7-21 hari. Pada lesi dengan hiperkeratosis,
tolnaftat sebaiknya diberikan bergantian dengan salep asam salisilat 10 %.(11,18)
c. Piridones Topikal
merupakan antifungal yang bersifat spektrum
luas dengan antidermatofit, antibakteri dan antijamur sehingga dapat digunakan
dalam berbagai jenis jamur.(11,18)
- Sikolopiroksolamin. Pengunaan kliniknya untuk dermatofitosis, kandidiasis
dan tinea versikolor. Sikolopiroksolamin tersedia dalam bentuk krim 1 % yang
dioleskan pada lesi 2 kali sehari. Reaksi iritatif dapat terjadi walaupun
jarang terjadi.
d.
Alilamin Topikal.
Efektif terhadap berbagai jenis jamur. Obat ini juga berguna pada tinea pedis yang sifatnya berulang (seperi
hiperkeratotik kronik).
(11)
- Terbinafine
(Lamisil®), menurunkan sintesis ergosterol, yang mengakibatkan
kematian sel jamur. Jangka waktu pengobatan 1 sampai 4 minggu. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan bahwa terbinafine 1% memiliki keefektifan yang sama
dengan terbinafine 10% dalam mengobati tine pedis namun dalam dosis yang lebih
kecil dan lebih aman.
(17)
e.
Antijamur Topikal Lainnya. (11,18)
- Asam benzoat dan asam salisilat. Kombinasi
asam benzoat dan asam salisilat dalam perbandingan 2 : 1 (biasanya 6 % dan 3 %)
ini dikenal sebagai salep Whitfield. Asam benzoat memberikan efek fungistatik
sedangkan asam salisilat memberikan efek keratolitik. Asam benzoat hanya
bersifat fungistatik maka penyembuhan baru tercapai setelah lapisan tanduk yang
menderita infeksi terkelupas seluruhnya. Dapat terjadi iritasi ringan pada
tempat pemakaian, juga ada keluhan yang kurang menyenangkan dari para
pemakainya karena salep ini berlemak.
- Asam Undesilenat. Dosis dari asam ini hanya
menimbulkan efek fungistatik tetapi dalam dosis tinggi dan pemakaian yang lama
dapat memberikan efek fungisidal. Obat
ini tersedia dalam bentuk salep campuran
yang mengangung 5 % undesilenat dan 20% seng undesilenat.
- Haloprogin. Haloprogin merupakan suatu
antijamur sintetik, berbentuk kristal kekuningan, sukar larut dalam air tetapi
larut dalam alkohol. Haloprogin tersedia dalam bentuk krim dan larutan dengan
kadar 1 %.
B. ANTIFUNGAL
SISTEMIK
Pemberian antifungal oral dilakukan setelah
pengobatan topikal gagal dilakukan. Secara umum, dermatofitosis pada umumnya
dapat diatasi dengan pemberian
beberapa obat antifungal di bawah ini antara lain :
1.
Griseofulvin merupakan obat yang bersifat fungistatik. Griseofulvin
dalam bentuk partikel utuh
dapat diberikan dengan dosis 0,5 – 1 g untuk orang dewasa dan 0,25 - 0,5 g
untuk anak-anak sehari atau 10-25 mg/kg BB. Lama pengobatan bergantung pada lokasi penyakit,
penyebab penyakit, dan imunitas penderita. Setelah sembuh klinis dilanjutkan 2
minggu agar tidak residif. Dosis harian yang dianjurkan dibagi menjadi 4 kali
sehari. Di dalam klinik cara pemberian dengan dosis tunggal harian memberi
hasil yang cukup baik pada sebagian besar penderita. Griseofulvin diteruskan
selama 2 minggu setelah penyembuhan klinis. Efek samping dari griseofulvin
jarang dijumpai, yang merupakan keluhan utama ialah sefalgia yang didapati pada
15 % penderita. Efek samping yang lain dapat berupa gangguan traktus digestivus
yaitu
nausea, vomitus dan diare. Obat tersebut juga dapat bersifat fotosensitif dan
dapat mengganggu fungsi hepar.(1)
2. Ketokonazole. Obat per oral,
yang juga efektif untuk dermatofitosis yaitu ketokonazole yang bersifat
fungistatik. Kasus-kasus yang resisten terhadap griseofulvin
dapat diberikan obat tersebut sebanyak 200 mg per hari selama 10 hari – 2
minggu pada pagi hari setelah makan. Ketokonazole merupakan kontraindikasi
untuk penderita kelainan hepar.(1)
3. Itrakonazole. Itrakonazole merupakan suatu
antifungal yangdapat digunakan sebagai pengganti ketokonazole yang bersifat
hepatotoksik terutama bila diberikan lebih dari sepuluh hari. Itrakonazole
berfungsi dalam menghambat pertumbuhan jamur dengan mengahambat sitokorm P-45
yang dibutuhkan dalam sintesis ergosterol yang merupakan komponen penting dalam
sela membran jamur. Pemberian obat tersebut untuk penyakit kulit dan selaput
lendir oleh penyakit jamur biasanya cukup 2 x 100-200 mg sehari dalam selaput
kapsul selama 3 hari. Interaksi dengan obat lain seperti antasida (dapat memperlambat
reabsorpsi di usus), amilodipin,
nifedipin (dapat menimbulkan terjadinya edema), sulfonilurea (dapat meningkatkan resiko
hipoglikemia).
Itrakonazole diindikasikan pada tinea pedis tipe moccasion. (1,11,12)
4. Terbinafin. Terbinafin berfungsi sebagai
fungisidal juga dapat diberikan sebagai pengganti griseofulvin selama 2-3
minggu, dosisnya 62,5 mg – 250 mg sehari bergantung berat badan. Mekanisme
sebagai antifungal yaitu menghambat epoksidase sehingga sintesis ergosterol
menurun. Efek samping terbinafin ditemukan pada kira-kira 10 % penderita, yang
tersering gangguan gastrointestinal di antaranya nausea, vomitus, nyeri lambung, diare dan
konstipasi yang umumnya ringan. Efek samping lainnya dapat berupa gangguan pengecapan dengan presentasinya yang kecil. Rasa pengecapan hilang
sebagian atau seluruhnya setelah beberapa minggu makan obat dan bersifat
sementara. Sefalgia ringan dapat pula terjadi. Gangguan fungsi hepar dilaporkan
pada 3,3 % - 7 % kasus.(1)
Terbinafin baik digunakan pada pasien tinea pedis tipe moccasion yang sifatnya kronik. Pada suatu penelitian ternyata
ditemukan bahwa pengobatan tinea pedis dengan terbinafine lebih efektif
dibandingkan dengan pengobatan griseofulvin. (15,19)
C. PENCEGAHAN
Salah satu pencegahan terhadap reinfeksi tinea pedis yaitu menjaga kaki
tetap dalam keadaan kering dan bersih, menghindari lingkungan yang lembab,
menghindari pemakaian sepatu yang terlalu lama, tidak berjalan dengan kaki
telanjang di tempat-tempat umum seperti kolam renang serta menghindari hindari
kontak dengan pasien yang sama. Penularan jamur ini biasanya asimptomatik,
sehingga umumnya tidak terlihat. Eradikasi jamur merupakan suatu hal yang sulit
dan membutuhkan proses yang panjang. Setelah mandi sebaiknya kaki dicuci dengan
benzoil peroksidase. (4,12)
X. KOMPLIKASI
1. Selulitis. Infeksi tinea pedis, terutama
tipe interdigital dapat mengakibatkan selulitis. Selulitis dapat terjadi pada
daerah ektermitas bawah. Selulitis merupakan infeksi bakteri pada daerah
subkutaneus pada kulit sebagai akibat dari infeksi sekunder pada luka. Faktor
predisposisi selulitis adalah trauma, ulserasi dan penyakit pembuluh darah
perifer. Dalam keadaan lembab, kulit akan mudah terjadi maserasi dan fissura,
akibatnya pertahanan kulit menjadi menurun dan menjadi tempat masuknya bakteri
pathogen seperti β-hemolytic streptococci
(group A, B C, F, and G), Staphylcoccus aureus, Streptococcus
pneumoniae, dan basil gram negatif.(4,12)
Apabila telah terjadi selulitis maka diindikasikan pemberian antibiotik. Jika
terjadi gejala yang sifatnya sistemik seperti demam dan menggigil, maka
digunakan antibiotik secara intravena. Antibiotik yang dapat digunakan berupa
ampisillin, golongan beta laktam ataupun golongan kuinolon. (14)
2. Tinea Ungium. Tinea ungium merupakan
infeksi jamur yang menyerang kuku dan biasanya dihubungkan dengan tinea pedis.
Seperti infeksi pada tinea pedis, T. rubrum
merupakan jamur penyebab tinea ungium. Kuku biasanya tampak menebal,
pecah-pecah, dan tidak berwarna yang merupakan dampak dari infeksi jamur
tersebut. (12)
3. Dermatofid. Dermatofid juga dikenal sebagai
reaksi “id”, merupakan suatu penyakit imunologik sekunder tinea pedis dan juga
penyakit tinea lainnya. Hal ini dapat menyebabkan vesikel atau erupsi pustular
di daerah infeksi sekitar palmaris dan jari-jari tangan. Reaksi dermatofid bisa
saja timbul asimptomatis dari infeksi tinea pedis. Reaksi ini akan berkurang
setelah penggunaan terapi antifungal. (12,13) Komplikasi
ini biasanya terkena pada pasien dengan edema kronik, imunosupresi, hemiplegia
dan paraplegia, dan juga diabetes. Tanpa perawatan profilaksis penyakit ini
dapat kambuh kembali.(4,12)
XI. PROGNOSIS
Tinea pedis pada umumnya memiliki prognosis yang
baik. Beberapa minggu setelah pengobatan dapat menyembuhkan tinea pedis, baik
akut maupun kronik. Kasus yang lebih berat dapat diobati dengan pengobatan
oral. Walaupun dengan pengobatan yang baik, tetapi bila tidak dilakukan
pencegahan maka pasien dapat terkena reinfeksi.(3,8)
XII. KESIMPULAN
Tinea pedis merupakan
infeksi dermatofita pada kaki terutama mengenai sela jari dan telapak kaki. Penyakit
ini lebih sering dijumpai pada laki-laki usia dewasa dan jarang pada perempuan
dan anak-anak. Keadaan lembab dan hangat pada sela jari kaki karena bersepatu
dan berkaos kaki disertai berada di daerah tropis yang lembab mengakibatkan
pertumbuhan jamur makin subur. Jamur penyebab tinea pedis yang
paling umum ialah Trichophyton rubrum (paling
sering), T. interdigitale, T. tonsurans (sering pada anak) dan
Epidermophyton floccosum.
Gambaran
klinis dapat dibedakan berdasarkan tipe interdigitalis, moccasion foot, lesi vesikobulosa, dan tipe ulseratif. Pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan KOH dan pemeriksaan lampu
Wood dan ditemukan adanya hifa double
counture, dikotomi dan bersepta. Diagnosis banding dapat berupa dermatitis
kontak, pemfolix, psoriasis, dan hiperhidrosis pada kaki. Penatalaksanaan disesuaikan berdasarkan tipe tinea pedis.
Pengobatan dapat berupa antifungal topikal maupun oral dan apabila ditemukan
infeksi sekunder maka indikasi penggunaan antibiotik. Salah
satu pencegahan terhadap reinfeksi tinea pedis yaitu menjaga agar kaki tetap
dalam keadaan kering dan bersih, hindari lingkungan yang lembab dan pemakaian sepatu
yang terlalu lama
DAFTAR PUSTAKA
1. Unandar
B. Mikosis. In. Djuanda A, Hamzah M, Aisah
S, editors. Ilmu penyakit kulit
dan kelamin. 5th
ed. Jakarta: Balai penerbitan FKUI;
2007. p. 89- 104.
2. Perea
S, Ramos MJ, Garau
M, Gonzalez A, Noriega AR, Palacio AD. Prevalence
and risk factors of tinea ungium and tinea pedis in the general
population in Spain. J
Clin Microbiol 2000;38:3226-30.
3.
Sobera JO, Elewski BE. Fungal diseases. In. Bolognia JL,
Jorizzo JL, Rapini RP, editors. Dermatology volume 1. 2nd ed. US: Mosby Elsevier; 2003. p.
4.
Nelson MM,
Martin AG, Heffernan MP. Superficial fungal infections: dermatophytosis,
onychomicosis, tinea nigra, piedra. In. Freedberg IM, Elsen AZ, Wolf K, Austen
KF, Goldsmith LA, Katz SI. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine.
6th ed. New york: McGraw-Hill; 2003. p.
5. Hapcioglu
B, Yegenoglu Y, Disci R, Erturan Z, Kaymakcalan H. Epidemiology of superficial
mycosis (tinea pedis, onychomycosis) in elementary school children in Istanbul,
Turkey. Coll Antropol
2006;1:119-24.
6. Habif TP. Clinical
dermatology: a color guide to diagnosis and therapy. 4th ed.
London: Mosby; 2004. p. 409-456.
7.
Falco
OB, Plewig G, Wolff HH, Winkelmann RK. Dermatology. 3rd ed.
Berlin: Springer Verlag; 1991. p. 227-8.
8.
Verma
S, Heffernan MP. In. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA,
Paller AS, Leffel DJ, editors. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 7th
ed. New York: McGraw-Hill; 2008. p.1807-21.
9.
Hall JC. Dermatology Mycology. In. Hall JC,
editor. Sauser’ manual of the skin. 8th ed. US: Mosby;
2000. p. 244-47.
10. Dawber R,
Bristow I, Turner W. Text atlas of podiatric dermatology.
UK: Oxford; 2005.
p. 65-6.
11. Bahry B, Setiabudy R. Obat jamur. In. Ganiswarna SG, Setiabudi R,
Suyatna FD, Purwantyastuti, Nafrialdi. Farmakologi dan terapi. 4th ed. Jakarta: Fakultas
Kedokteran UI; 2004. p. 560-70.
12. Hasan MA, Fitzgerald SM, Saoudian M, Krishnaswamy G. Dermatology for the practicing allergist: tinea
pedis and its complications. Clin Mol
Allergy 2004;2:5.
13. Noble SL, Pharm D, Forbes RC. Diagnosis
and management of common tinea infections. [Online].
2000 July [cited 2010 June 2]; Available from: URL: http://www.aafp.org/afp/980700ap/noble.html
14. Swartz MN. Cellulitis. Clin
Practise 2004; 350:904-12.
15. Savin RC, Zaias NTreatment of chronic moccasin-type tinea pedis with terbinafine: a double-blind, placebo-controlled
trial. J Am Acad Dermatol 1990;23:804-7
16. Burns T, Breathnec
S, Cox N, Griffiths C. Rook’s textbook of dermatology volume 1-4. 7th
ed. UK: Blackweel; 2004. p. 31.32-34.
17. Chauvin MFd, Vallanette VC, Kienzler JL, Larnier C. Novel, single-dose, topical treatment of tinea pedis using terbinafine: result of a dose-finding clinical trial.
Orig
Article
2007;51:1-6.
18. Weinstein A, Berman B. Topical treatment of common superficial
tinea infections. Am Fam Physic 2002;65:2095-102.
19. Bell-Syer SEM,
Hart R, Crawford F, Torgerson DJ, Tyrrell W, Russell I. Oral treatments for fungal infections of the skin of the foot. [Online].
2002 Apr 22 [cited 2010 May 28]; Available from: URL: http://www2.cochrane.org/reviews/en/ab003584.html
20. Hainer BL. Dermatophyte infections. Am Fam Physic 2003;67:101-8.
21. Rippon JW. Medical
Mycology: the pathogenicfungi and the pathogenic actinomycetes. 3rd ed. WB Saunders Company:
Filadelphia; 1988. p. 218-24.
22. Viklund A, Burley C. Dermatology glossary:
define your skin. [Online]. 2005 Nov 28 [cited 2010 June 8]; Available from:
URL: http://www.chrisburley.com/
mau tanya saya sebagai orang awam apakah tinea pedis sama degan kaki pecah2 ya
BalasHapusmau tanya nieh dok, apakah saya terkena tinea pedis ya? soalnya telapak kaki & tangan saya kering dan kaki saya sering sensitif gitu klw kena air hujan, trus kaki saya klw pas lagi kumat ngeluarin cairan bening disertai nanah. dan langsung infeksi. mohon penjelasannya, terima kasih. dan apa yg harus saya lakukan,
BalasHapusSaya g sembuh sembuh. Frustasi
BalasHapusSaya g sembuh sembuh. Frustasi
BalasHapuslaptop test
BalasHapusDefinitely believe that which you stated. Your favorite reason appeared to be on the net the easiest thing to be aware of.
I say to you, I definitely get irked while people consider worries that they
just don't know about. You managed to hit the nail upon the top as
well as defined out the whole thing without having side effect , people can take a signal.
Will probably be back to get more. Thanksnotebook test
Check out my blog post ... gesundheitsschaedlich
bahasanya dipermudah bisa? ga perlu pake bahasa njlimet.. langsung cara mengatasinya
BalasHapusterimakasih banyak ya atas informasinya
BalasHapus