I. Pendahuluan
Saat ini abortus masih merupakan
masalah kontroversi di masyarakat indonesia. Namun terlepas dari
kontroversi tersebut, abortus merupakan
masalah kesehatan masyarakat karena memberikan dampak pada kesakitan dan
kematian ibu. Sebagaimana diketahui penyebab utama kematian ibu hamil dan
melahirkan adalah perdarahan, infeksi dan eklampsia. Namun sebenarnya abortus
juga merupakan penyebab kematian ibu, hanya saja muncul dalam bentuk komplikasi
perdarahan dan sepsis. Akan tetapi, kematian ibu yang disebabkan komplikasi
abortus sering tidak muncul dalam laporan kematian, tetapi dilaporkan sebagai
perdarahan atau sepsis. Hal itu terjadi
karena hingga saat ini aborsi masih merupakan masalah kontroversial di
dalam masyarakat.1
II. Defenisi
Abortus adalah suatu ancaman atau
pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Istilah
abortus digunakan untuk menunjukkan pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin
dapat hidup di luar kandungan. Pernah dilaporkan bayi dilahirkan dapat hidup di
luar kandungan dengan berat badan 297 gram waktu lahir. Akan tetapi jarang bayi
dilahirkan dengan berat badan di bawah 500 gram dapat terus hidup, maka abortus
ditentukan sebagai pengakhiran kehamilan sebelum janin mencapai 500 gram atau
kurang dari 20 minggu.1
Abortus Habitualis didefenisikan
sebagai abortus spontan yang terjadi tiga kali atau lebih secara berturut-turut
atau terus-menerus tanpa tenggang waktu sebelum 20 minggu masa kehamilan atau
berat fetus kurang dari 500 gr. Wanita yang mengalami peristiwa tersebut,
umumnya tidak mendapat kesulitan menjadi hamil, akan tetapi kehamilannya tidak
akan bertahan lama atau tidak akan berlangsung terus, tetapi akan berhenti
sebelum waktunya, dengan kata lain akan mengalami abortus (keguguran). Biasanya
kejadian abortus ini terjadi pada trimester pertama, tetapi kadang-kadang pada
kehamilan lebih tua.1,4,8
Abortus habitualis terbagi dalam 2
tipe yaitu :1,3
1. Abortus
Primer
Yaitu
wanita yang tidak memiliki bayi hidup pada kehamilan sebelumnya
2. Abortus
sekunder
Wanita
yang setidaknya memiliki bayi yang hidup pada kehamilan sebelumnya
III. Etiologi
Beberapa etiologi dari abortus habitualis diantaranya
adalah faktor genetik, patologi uterin, faktor endokrin, imunologi,
thrombophiliasis, dan kemungkinan faktor-faktor lingkungan dan agen infeksi.2,9
Sekitar 15% - 30% gangguan endokrin dapat mempengaruhi
peningkatan resiko abortus habitualis. Terjadinya kerusakan korpus luteum atau
reseptor progesteron endometrial dapat menyebabkan abortus habitualis. Beberapa
gangguan endokrin yang dapat meningkatkan resiko abortus habitualis diantaranya
adalah insulin –dependen diabetes melitus, gangguan tiroid, hipersekresi
luteinizing hormon (LH) pada policistyc ovary syndrom (PCOS), gangguan fase
luteal, dan hyperprolactinemia.5,9
1. Diabetes
melitus
Lebih dari 50 ulasan penelitian dari tahun 1950 sampai
1986 tidak menemukan korelasi antara abortus spontan dengan pre-conceptual atau
kehamilan dengan diabetes. Meskipun demikian, penulis lain menunjukkan peningkatan
yang signifikan terhadap abortus spontan pada wanita hamil dengan
insulin-dependen diabetes melitus yang tidak terkontrol dengan perbandingan
rata-rata 45% berbanding 15% pada wanita hamil dengan diabetes yang kurang
terkontrol. Pengaruh negatif pada wanita hamil dengan diabetes yang kurang
terkontrol yaitu terjadi metabolisme glukosa yang abnormal. Resistensi insulin
umumnya ditemukan pada wanita yang mengalami abortus berulang, yang berhubungan
dengan peningkatan rata-rata abortus. Mekanismenya berupa terjadinya keusakan
terhadap respon fibrinolitik yang penting untuk perbaikan kembali jaringan yang
menyertai implantasi embrio.4,5
2. Gangguan
hormon Tiroid
Gangguan hormon tiroid
sebagai penyebab abortus berulang juga masih kontroversial. Anggapan bahwa
hipotiroidism memiliki kontribusi terhadap abortus berulang dikemukakan dari
penelitian tahun 1950an dan 1960an. Meskipun demikian, terdapat beberapa bukti bahwa autoimunitas tiroid mungkin
berhubungan dengan abortus berulang. Antibodi antitiroid telah dianjurkan menjadi
perkiraan terjadinya abortus yang
secara acak dipilih dari populasi obstetrik sejak mereka hamil kemudian di
observasi adanya hubungan dengan peningkatan resiko abortus spontan.5,8,10
3. Policistycovary syndrom (PCOS)
Hiperseksekresi Luteinzing Hormon (LH) pada wanita denga policistic
ovary syndrom (PCOS) diukur dengan plasma LH (>10IU/I) atau LH urine pagi
hari yang berimplikasi pada abortus habitualis. Salah satu
hipotesis mengatakan bahwa meningkatnya
LH pada fase follicular menyebabkan permulaan meiosis prematur pada oocyt (melalui aksi antagonis dari inhibitor
maturasi oocyt), menyebabkan maturasi prematur oocyt pada saat ovulasi. Peningkatan
serum LH juga memungkinkan terjadinya reaksi terhadap sel theca pada stroma
ovarium sehingga meningkatkan produksi androgen yang bertanggung jawab terhadap
terjadinya aborsi.1,5,6,8
4. Gangguan
fase luteal
Istilah “gangguan fase luteal” mengarah pada tidak
adekuatnya fungsi korpus luteum untuk menghasilkan jumlah progesteron yang
cukup. Hal ini menyebabkan tidak adekuatnya maturasi andometrium dan
kemungkinan menyebabkan defek fungsi pertahanan awal terhadap implantasi
embrio. Adekuatnya fungsi korpus luteum berguna untuk implantasi dan
pertumbuhan awal embrio. Terlepasnya korpus luteum terutama pada minggu ke 7
kehamilan, pada beberapa kasus menyebabkan induksi aborsi. Selanjutnya,
tingginya LH kemungkinan akan mendesak endometrium secara langsung, sehingga menyebabkan
defek endometrial yang menghasilkan implantasi yang kurang optimal. 1,5,7
Prolaktin berperan
pada saat ovulasi dan maturasi endometrial. Hyperprolactinemia dilaporkan menyebabkan abortus berulang. Kekurangan
produksi prolactin endometrial selama fase luteal dalam siklus menstruasi juga
berhubungan dengan terjadinya abortus berulang.3,4
III.
Patofisiologi
Kebanyakan abortus spontan
terjadi segera setelah kematian janin yang kemudian diikuti dengan perdarahan
di dalam desidua basalis, lalu terjadi perubahan-perubahan nekrotik pada daerah
implantasi, infiltrasi sel-sel peradangan akut, dan perubahan nekrotik dan
akhirnya perdarahan pervaginam. Hasil konsepsi terlepas
seluruhnya atau sebagian yang diinterpretasikan sebagai benda asing dalam
rongga rahim. Hal ini menyebabkan kontraksi rahim dimulai, dan segera setelah
itu terjadi pendorongan keluar rongga rahim(ekspulsi). Seringkali fetus tak nampak
dan ini disebut ‘blighted ovum’ yang juga merupakan salah satu penyebab dilakukannya
kuretase.1
Perlu ditekankan bahwa pada abortus spontan, kematian
embrio biasanya terjadi paling lama 2 minggu sebelum perdarahan. Oleh karena
itu, pengobatan untuk mempertahankan janin tidak layak jika telah terjadi
perdarahan banyak karena abortus tidak dapat dihindari. Sebelum minggu ke 10,
hasil konsepsi biasanya dikeluarkan dengan lengkap. Hal ini disebabkan sebelum
minggu ke 10 vili korealis belum melekat dengan erat kedalam desidua hingga
telur mudah lepas keseluruhannya. Antara minggu ke 10-12 korion tumbuh dengan
cepat dan hubungan vili korialis dengan desidua makin erat sehingga mulai saat
tersebut sering terdapat sisa-sisa korion (plasenta) tertinggal jika terjadi
abortus.1
Pada kehamilan kurang dari 6 minggu, villi korialis belum
menembus desidua secara dalam, sehingga hasil konsepsi dapat dikeluarkan
seluruhnya. Pada kehamilan 8 sampai 14 minggu, penembusan sudah lebih dalam
hingga plasenta tidak dilepaskan sempurna dan menimbulkan banyak perdarahan.
Pada kehamilan lebih dari 14 minggu, janin dikeluarkan lebih dahulu daripada
plasenta. Hasil konsepsi keluar dalam berbagai bentuk, seperti kantong kosong
amnion atau benda kecil yang tak jelas bentuknya (blighted ovum) janin lahir
mati, janin masih hidup, mola kruenta, fetus kompresus, maserasi atau fetus
papiraseus.1
IV. Manifestasi Klinik
Terjadi abortus
spontan secara berulang dan berturut-turut sekurang-kurangnya 3 kali dimana gejala
terjadinya abortus adalah sebagai berikut :1
1. Terlambat
haid atau amenore kurang dari 20 minggu.
2. Pada
pemeriksaan fisik : Keadaan umum tampak lemah atau kesadaran menurun, tekanan
darah normal atau menurun, denyut nadi normal atau cepat dan kecil, suhu badan
normal atau meningkat.
3. Perdarahan
pervaginam, mungkin disertai keluarnya jaringan hasil konsepsi.
4. Rasa
nyeri atau kram perut di daerah atas simfisis, sering disertai nyeri pinggang
akibat kontraksi uterus
V. Pemeriksaan Ginekologi
- Inspeksi vulva : perdarahan pervaginam,
ada/tidak jaringan hasil konsepsi, tercium/tidak bau busuk dari vulva.
- Inspekulo : perdarahan dari kavum uteri,
ostium uteri terbuka atau sudah tertutup, ada/ tidak jaringan keluar dari
ostium uteri, ada/tidak cairan atau jaringan berbau busuk dari ostium uteri.
-
Periksa dalam vagina : porsio masih terbuka atau sudah tertutup, teraba atau
tidak jaringan dalam kavum uteri, besar uterus sesuai atau lebih kecil dari
usia kehamilan, tidak nyeri saat porsio digoyang, tidak nyeri pada perabaan
adneksa, kavum Douglasi tidak menonjol
dan tidak nyeri.1
VI. Pemeriksaan Penunjang
-
Tes kehamilan : positif bila janin masih
hidup. Bahkan 2-3 minggu setelah abortus
-
Pemeriksaan Doppler atau USG untuk menentukan
apakah janin masih hidup atau tidak.1
VII.
Diagnosis
Pada
umumnya, diagnosis abortus ditegakkan berdasarkan :1,11
1. Anamnesis
:
Diagnosis
abortus habitualis tidak sukar ditentukan dengan anamnesis. Gejalanya seperti
abortus imminens yang kemudian menghilang secara spontan disertai kehamilan
menghilang, mamma agak mengendor, uterus mengecil, tes kehamilan negatif. Adanya
perdarahan, haid terakhir, pola siklus haid, ada tidak gejala / keluhan lain,
cari faktor risiko / predisposisi. Riwayat penyakit umum dan riwayat obstetri /
ginekologi. Wanita usia reproduktif dengan perdarahan pervaginam abnormal harus
selalu dipertimbangkan kemungkinan adanya kehamilan.
2. Pemeriksaan fisis umum
Periksa keadaan umum dan tanda vital secara sistematik.
Jika keadaan umum buruk lakukan resusitasi dan stabilisasi segera.
3. Pemeriksaan Ginekologi
Jika memungkinkan, cari sumber perdarahan : apakah dari
dinding vagina, atau dari jaringan serviks, atau darah mengalir keluar dari
ostium. Pemeriksan dalam vagina dilakukan untuk menentukan besar dan letak
uterus. Adneksa dan parametrium diperiksa, ada tidaknya massa atau tanda akut
lainnya.
4. Laboratorium
4. Laboratorium
Jika diperlukan, ambil darah / cairan / jaringan untuk
pemeriksaan penunjang (pengambilan sediaan dilakukan sebelum pemeriksaan dalam
vagina).
VIII. Pemeriksaan Penunjang
Dengan
USG dapat diketahui apakah janin sudah mati dan besarnya sesuai dengan usia
kehamilan. Dengan human chorionicgonadotropin (hCG) test bisa diketahui kemungkinan kehamilan. 1
IX. Penatalaksanaan
Berikut adalah beberapa penatalaksanaan abortus berulang
berdasarkan kausanya, yaitu :
1.
Diabetes melitus
Konseling
dan pemberian metformin. Metformin dilaporkan dapat menurunkan
hiperinsulinemia. Beberapa penelitian prospektif menunjukkan bahwa penggunaan
metfomin selama kehamilan dapat menurunkan kejadian abortus terutama pada
wanita dengan PCOS. 4
2. Gangguan
hormon Tiroid3
Pemberian
eltoxine
3. Policistyc
ovary syndrom (PCOS)8
Ø Konseling
pre konsepsi:
- Gaya
hidup (life style)
- Mengurangi
berat badan
- Berolahraga
- Tidak
merokok
- Tidak
mengkonsumsi minuman beralkohol
Ø Perawatan
tahap pertama untuk indukdi ovulasi: diberikan clomiphene sitrat
Ø Perawatan
tahap kedua:
- Pemberian
gonadotropin exogen
- Bedah
laparoscopic
Ø Perwatan
tahap ketiga: fertilisasi secara in vitro (IVF)
4. Gangguan
fase luteal
Ø Pemberian
suplemen progesteron (dimulai 3 hari setelah ovulasi)
- Suppositori
vaginal : 25-50mg BD (hingga 8-9 minggu kehamilan)
- I/m
125mg/hari (hingga 8-9 minggu kehamilan)
- Atau
segera setelah didiagnosa hamil setiap minggu diberikan 1/m 17-hidroksi
progesteron caproate( sebagai maintance, prolution depot, procaprin) 250-500mg
selama 16 minggu
Ø HCG
dilakukan setelah surge 2000-5000IU setiap 2-5 hari selama
12 minggu I/m (pubergen, Ovidac, Fertigyn, Life)3
5. Hyperprolactinemia
Pemberian
bromocriptane yang berfungsi untuk menekan sekresi prolaktin oleh pituitary
anterior, secara signifikan dapat menurunkan kemungkinan terjadinya abortus.4
Penyebab
abortus habitualis untuk sebagian besar tidak diketahui. Oleh karena itu,
penanganannya terdiri atas: memperbaiki keadaan umum, pemberian makanan yang
sempurna, anjuran istirahat cukup banyak, larangan koitus dan olah raga. Adanya
risiko perdarahan pervaginam yang hebat maka perlu diperhatikan adanya
tanda-tanda syok dan hemodinamik yang tidak stabil serta tanda-tanda vital.
Jika pasien hipotensi, diberikan secara intravena-bolus salin normal (NS) untuk
stabilisasi hemodinamik, memberikan oksigen, dan mengirim jaringan yang ada, ke
rumah sakit untuk diperiksa.1
X.
Komplikasi
Komplikasi
abortus habitualis adalah sebagai berikut :1
•
Perdarahan
Penyebab kematian kedua yang paling penting adalah
perdarahan. Perdarahan dapat disebabkan oleh abortus yang tidak lengkap atau
cedera organ panggul atau usus. Perdarahan dapat diatasi dengan pengosongan
uterus dari sisa-sisa hasil konsepsi dan jika perlu pemberian transfusi darah.
Kematian biasanya disebabkan oleh tidak tersedianya darah atau fasilitas
transfusi rumah sakit serta keterlambatan pertolongan yang diberikan.
•
Infeksi
Sebenarnya pada genitalia eksterna dan vagina dihuni oleh
bakteri yang merupakan flora normal. Khususnya pada genitalia eksterna yaitu
staphylococci, streptococci, Gram negatif enteric bacilli, Mycoplasma,
Treponema (selain T. paliidum), Leptospira, jamur, Trichomonas vaginalis,
sedangkan pada vagina ada lactobacili,streptococci, staphylococci, Gram negatif
enteric bacilli, Clostridium sp., Bacteroides sp, Listeria dan jamur.
Organisme-organisme yang paling sering mengakibatkan infeksi paska abortus
adalah E.coli, Streptococcus non hemolitikus, Streptococci anaerob,
Staphylococcus aureus, Streptococcus hemolitikus, dan Clostridium perfringens.
Bakteri lain yang kadang dijumpai adalah Neisseria gonorrhoeae, Pneumococcus
dan Clostridium tetani. Streptococcus pyogenes potensial berbahaya oleh karena
dapat membentuk gas.
•
Sepsis
•
Syok
Syok pada abortus bisa terjadi karena perdarahan (syok
hemoragik) dan karena infeksi berat.
XI. Prognosis
Prognosis
tergantung pada etiologi dari abortus spontan sebelumnya, umur pasien, dan umur
kehamilan. Koreksi kelainan endokrin pada wanita dengan abortus habitualis
memiliki prognosis yang baik untuk terjadinya kehamilan yang sukses (> 90%).
Angka kelahiran hidup setelah rekaman denyut jantung janin pada 5-6 minggu usia
kehamilan pada wanita dengan abortus habitualis disebutkan sekitar 77%. Ketika
USG panggul transvaginal menunjukkan embrio paling sedikit 8 minggu
diperkirakan usia kehamilan (EGA) dan aktivitas jantung, laju keguguran untuk
pasien yang lebih muda dari 35 tahun adalah 3-5% dan untuk mereka yang di atas
35 tahun, sebanyak 8%. Prognosis yang kurang baik bila pada pemeriksaan USG
didapatkan tingkat aktivitas jantung janin kurang dari dari 90 kali per menit,
suatu kantung kehamilan berbentuk atau berukuran tidak normal, dan perdarahan
subchorionic yang hebat. Tingkat keguguran secara keseluruhan untuk pasien di
atas 35 tahun adalah 14% dan untuk pasien yang berumur di bawah 35 tahun adalah
7%.1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar