Sabtu, 26 Mei 2012

Abortus Habitualis Kausa Hormonal


I. Pendahuluan
            Saat ini abortus masih merupakan masalah kontroversi di masyarakat indonesia. Namun terlepas dari kontroversi  tersebut, abortus merupakan masalah kesehatan masyarakat karena memberikan dampak pada kesakitan dan kematian ibu. Sebagaimana diketahui penyebab utama kematian ibu hamil dan melahirkan adalah perdarahan, infeksi dan eklampsia. Namun sebenarnya abortus juga merupakan penyebab kematian ibu, hanya saja muncul dalam bentuk komplikasi perdarahan dan sepsis. Akan tetapi, kematian ibu yang disebabkan komplikasi abortus sering tidak muncul dalam laporan kematian, tetapi dilaporkan sebagai perdarahan atau sepsis. Hal itu terjadi  karena hingga saat ini aborsi masih merupakan masalah kontroversial di dalam masyarakat.1
         
   Prevalensi dari abortus habitualis diperkirakan terjadi pada 1-3% kehamilan. Faktor umur dan keberhasilan kehamilan sebelumnya merupakan faktor independen yang dapat mempengaruhi terjadinya abortus habitualis, dimana angka kejadian abortus akan meningkat seiring dengan pertambahan usia ibu. Untuk ibu muda yang belum pernah mengalami abortus maka kemungkinan resiko abortus hanya 5%. Resikonya meningkat sekitar 30% pada wanita yang pernah mengalami abortus 3 kali atau lebih dengan anak yang hidup sebelumnya, dan meningkat sampai 50% jika sebelumnya belum memiliki anak yang lahir hidup.2
II. Defenisi
            Abortus adalah suatu ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Istilah abortus digunakan untuk menunjukkan pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Pernah dilaporkan bayi dilahirkan dapat hidup di luar kandungan dengan berat badan 297 gram waktu lahir. Akan tetapi jarang bayi dilahirkan dengan berat badan di bawah 500 gram dapat terus hidup, maka abortus ditentukan sebagai pengakhiran kehamilan sebelum janin mencapai 500 gram atau kurang dari 20 minggu.1
            Abortus Habitualis didefenisikan sebagai abortus spontan yang terjadi tiga kali atau lebih secara berturut-turut atau terus-menerus tanpa tenggang waktu sebelum 20 minggu masa kehamilan atau berat fetus kurang dari 500 gr. Wanita yang mengalami peristiwa tersebut, umumnya tidak mendapat kesulitan menjadi hamil, akan tetapi kehamilannya tidak akan bertahan lama atau tidak akan berlangsung terus, tetapi akan berhenti sebelum waktunya, dengan kata lain akan mengalami abortus (keguguran). Biasanya kejadian abortus ini terjadi pada trimester pertama, tetapi kadang-kadang pada kehamilan lebih tua.1,4,8
            Abortus habitualis terbagi dalam 2 tipe yaitu :1,3
1.    Abortus Primer
Yaitu wanita yang tidak memiliki bayi hidup pada kehamilan sebelumnya
2.    Abortus sekunder
Wanita yang setidaknya memiliki bayi yang hidup pada kehamilan sebelumnya
III. Etiologi
Beberapa etiologi dari abortus habitualis diantaranya adalah faktor genetik, patologi uterin, faktor endokrin, imunologi, thrombophiliasis, dan kemungkinan faktor-faktor lingkungan dan agen infeksi.2,9
Sekitar 15% - 30% gangguan endokrin dapat mempengaruhi peningkatan resiko abortus habitualis. Terjadinya kerusakan korpus luteum atau reseptor progesteron endometrial dapat menyebabkan abortus habitualis. Beberapa gangguan endokrin yang dapat meningkatkan resiko abortus habitualis diantaranya adalah insulin –dependen diabetes melitus, gangguan tiroid, hipersekresi luteinizing hormon (LH) pada policistyc ovary syndrom (PCOS), gangguan fase luteal, dan hyperprolactinemia.5,9
1.    Diabetes melitus
Lebih dari 50 ulasan penelitian dari tahun 1950 sampai 1986 tidak menemukan korelasi antara abortus spontan dengan pre-conceptual atau kehamilan dengan diabetes. Meskipun demikian, penulis lain menunjukkan peningkatan yang signifikan terhadap abortus spontan pada wanita hamil dengan insulin-dependen diabetes melitus yang tidak terkontrol dengan perbandingan rata-rata 45% berbanding 15% pada wanita hamil dengan diabetes yang kurang terkontrol. Pengaruh negatif pada wanita hamil dengan diabetes yang kurang terkontrol yaitu terjadi metabolisme glukosa yang abnormal. Resistensi insulin umumnya ditemukan pada wanita yang mengalami abortus berulang, yang berhubungan dengan peningkatan rata-rata abortus. Mekanismenya berupa terjadinya keusakan terhadap respon fibrinolitik yang penting untuk perbaikan kembali jaringan yang menyertai implantasi embrio.4,5
2.    Gangguan hormon Tiroid
Gangguan hormon tiroid sebagai penyebab abortus berulang juga masih kontroversial. Anggapan bahwa hipotiroidism memiliki kontribusi terhadap abortus berulang dikemukakan dari penelitian tahun 1950an dan 1960an. Meskipun demikian, terdapat beberapa bukti bahwa autoimunitas tiroid mungkin berhubungan dengan abortus berulang. Antibodi antitiroid telah dianjurkan menjadi perkiraan terjadinya abortus yang secara acak dipilih dari populasi obstetrik sejak mereka hamil kemudian di observasi adanya hubungan dengan peningkatan resiko abortus spontan.5,8,10
3.    Policistycovary syndrom (PCOS)
Hiperseksekresi Luteinzing Hormon (LH) pada wanita denga policistic ovary syndrom (PCOS) diukur dengan plasma LH (>10IU/I) atau LH urine pagi hari yang berimplikasi pada abortus habitualis. Salah satu hipotesis  mengatakan bahwa meningkatnya LH pada fase follicular menyebabkan permulaan meiosis prematur pada  oocyt (melalui aksi antagonis dari inhibitor maturasi oocyt), menyebabkan maturasi prematur oocyt pada saat ovulasi. Peningkatan serum LH juga memungkinkan terjadinya reaksi terhadap sel theca pada stroma ovarium sehingga meningkatkan produksi androgen yang bertanggung jawab terhadap terjadinya aborsi.1,5,6,8
4.    Gangguan fase luteal
Istilah “gangguan fase luteal” mengarah pada tidak adekuatnya fungsi korpus luteum untuk menghasilkan jumlah progesteron yang cukup. Hal ini menyebabkan tidak adekuatnya maturasi andometrium dan kemungkinan menyebabkan defek fungsi pertahanan awal terhadap implantasi embrio. Adekuatnya fungsi korpus luteum berguna untuk implantasi dan pertumbuhan awal embrio. Terlepasnya korpus luteum terutama pada minggu ke 7 kehamilan, pada beberapa kasus menyebabkan induksi aborsi. Selanjutnya, tingginya LH kemungkinan akan mendesak endometrium secara langsung, sehingga menyebabkan defek endometrial yang menghasilkan implantasi yang kurang optimal. 1,5,7
Prolaktin berperan pada saat ovulasi dan maturasi endometrial. Hyperprolactinemia  dilaporkan menyebabkan abortus berulang. Kekurangan produksi prolactin endometrial selama fase luteal dalam siklus menstruasi juga berhubungan dengan terjadinya abortus berulang.3,4

III. Patofisiologi
Kebanyakan abortus spontan terjadi segera setelah kematian janin yang kemudian diikuti dengan perdarahan di dalam desidua basalis, lalu terjadi perubahan-perubahan nekrotik pada daerah implantasi, infiltrasi sel-sel peradangan akut, dan perubahan nekrotik dan akhirnya perdarahan pervaginam. Hasil konsepsi terlepas seluruhnya atau sebagian yang diinterpretasikan sebagai benda asing dalam rongga rahim. Hal ini menyebabkan kontraksi rahim dimulai, dan segera setelah itu terjadi pendorongan keluar rongga rahim(ekspulsi). Seringkali fetus tak nampak dan ini disebut ‘blighted ovum’ yang juga merupakan salah satu penyebab dilakukannya kuretase.1
Perlu ditekankan bahwa pada abortus spontan, kematian embrio biasanya terjadi paling lama 2 minggu sebelum perdarahan. Oleh karena itu, pengobatan untuk mempertahankan janin tidak layak jika telah terjadi perdarahan banyak karena abortus tidak dapat dihindari. Sebelum minggu ke 10, hasil konsepsi biasanya dikeluarkan dengan lengkap. Hal ini disebabkan sebelum minggu ke 10 vili korealis belum melekat dengan erat kedalam desidua hingga telur mudah lepas keseluruhannya. Antara minggu ke 10-12 korion tumbuh dengan cepat dan hubungan vili korialis dengan desidua makin erat sehingga mulai saat tersebut sering terdapat sisa-sisa korion (plasenta) tertinggal jika terjadi abortus.1
Pada kehamilan kurang dari 6 minggu, villi korialis belum menembus desidua secara dalam, sehingga hasil konsepsi dapat dikeluarkan seluruhnya. Pada kehamilan 8 sampai 14 minggu, penembusan sudah lebih dalam hingga plasenta tidak dilepaskan sempurna dan menimbulkan banyak perdarahan. Pada kehamilan lebih dari 14 minggu, janin dikeluarkan lebih dahulu daripada plasenta. Hasil konsepsi keluar dalam berbagai bentuk, seperti kantong kosong amnion atau benda kecil yang tak jelas bentuknya (blighted ovum) janin lahir mati, janin masih hidup, mola kruenta, fetus kompresus, maserasi atau fetus papiraseus.1

IV. Manifestasi Klinik
Terjadi abortus spontan secara berulang dan berturut-turut sekurang-kurangnya 3 kali dimana gejala terjadinya abortus adalah sebagai berikut :1
1.    Terlambat haid atau amenore kurang dari 20 minggu.
2.    Pada pemeriksaan fisik : Keadaan umum tampak lemah atau kesadaran menurun, tekanan darah normal atau menurun, denyut nadi normal atau cepat dan kecil, suhu badan normal atau meningkat.
3.    Perdarahan pervaginam, mungkin disertai keluarnya jaringan hasil konsepsi.
4.    Rasa nyeri atau kram perut di daerah atas simfisis, sering disertai nyeri pinggang akibat kontraksi uterus

V. Pemeriksaan Ginekologi
- Inspeksi vulva : perdarahan pervaginam, ada/tidak jaringan hasil konsepsi, tercium/tidak bau busuk dari vulva.
-   Inspekulo : perdarahan dari kavum uteri, ostium uteri terbuka atau sudah tertutup, ada/ tidak jaringan keluar dari ostium uteri, ada/tidak cairan atau jaringan berbau busuk dari ostium uteri.
- Periksa dalam vagina : porsio masih terbuka atau sudah tertutup, teraba atau tidak jaringan dalam kavum uteri, besar uterus sesuai atau lebih kecil dari usia kehamilan, tidak nyeri saat porsio digoyang, tidak nyeri pada perabaan adneksa, kavum Douglasi  tidak menonjol dan tidak nyeri.1

 VI. Pemeriksaan Penunjang
-        Tes kehamilan : positif bila janin masih hidup. Bahkan 2-3 minggu setelah abortus
-        Pemeriksaan Doppler atau USG untuk menentukan apakah janin masih hidup atau tidak.1

VII. Diagnosis
Pada umumnya, diagnosis abortus ditegakkan berdasarkan :1,11
1.    Anamnesis :
Diagnosis abortus habitualis tidak sukar ditentukan dengan anamnesis. Gejalanya seperti abortus imminens yang kemudian menghilang secara spontan disertai kehamilan menghilang, mamma agak mengendor, uterus mengecil, tes kehamilan negatif. Adanya perdarahan, haid terakhir, pola siklus haid, ada tidak gejala / keluhan lain, cari faktor risiko / predisposisi. Riwayat penyakit umum dan riwayat obstetri / ginekologi. Wanita usia reproduktif dengan perdarahan pervaginam abnormal harus selalu dipertimbangkan kemungkinan adanya kehamilan. 
2.  Pemeriksaan fisis umum
Periksa keadaan umum dan tanda vital secara sistematik. Jika keadaan umum buruk lakukan resusitasi dan stabilisasi segera.
3.  Pemeriksaan Ginekologi
Jika memungkinkan, cari sumber perdarahan : apakah dari dinding vagina, atau dari jaringan serviks, atau darah mengalir keluar dari ostium. Pemeriksan dalam vagina dilakukan untuk menentukan besar dan letak uterus. Adneksa dan parametrium diperiksa, ada tidaknya massa atau tanda akut lainnya.
4.  Laboratorium
Jika diperlukan, ambil darah / cairan / jaringan untuk pemeriksaan penunjang (pengambilan sediaan dilakukan sebelum pemeriksaan dalam vagina).

VIII. Pemeriksaan Penunjang
Dengan USG dapat diketahui apakah janin sudah mati dan besarnya sesuai dengan usia kehamilan. Dengan human chorionicgonadotropin (hCG) test bisa diketahui kemungkinan kehamilan. 1

IX. Penatalaksanaan
Berikut adalah beberapa penatalaksanaan abortus berulang berdasarkan kausanya, yaitu :
1.    Diabetes melitus
Konseling dan pemberian metformin. Metformin dilaporkan dapat menurunkan hiperinsulinemia. Beberapa penelitian prospektif menunjukkan bahwa penggunaan metfomin selama kehamilan dapat menurunkan kejadian abortus terutama pada wanita dengan PCOS. 4
2.    Gangguan hormon Tiroid3
Pemberian eltoxine
3.    Policistyc ovary syndrom (PCOS)8
Ø  Konseling pre konsepsi:
-       Gaya hidup (life style)
-       Mengurangi berat badan
-       Berolahraga
-       Tidak merokok
-       Tidak mengkonsumsi minuman beralkohol
Ø  Perawatan tahap pertama untuk indukdi ovulasi: diberikan clomiphene sitrat
Ø  Perawatan tahap kedua:
-       Pemberian gonadotropin exogen
-       Bedah laparoscopic
Ø  Perwatan tahap ketiga: fertilisasi secara in vitro (IVF)
4.    Gangguan fase luteal
Ø  Pemberian suplemen progesteron (dimulai 3 hari setelah ovulasi)
-       Suppositori vaginal : 25-50mg BD (hingga 8-9 minggu kehamilan)
-       I/m 125mg/hari (hingga 8-9 minggu kehamilan)
-       Atau segera setelah didiagnosa hamil setiap minggu diberikan 1/m 17-hidroksi progesteron caproate( sebagai maintance, prolution depot, procaprin) 250-500mg selama 16 minggu
Ø  HCG dilakukan setelah surge 2000-5000IU setiap 2-5 hari selama 12 minggu I/m (pubergen, Ovidac, Fertigyn, Life)3
5.    Hyperprolactinemia
Pemberian bromocriptane yang berfungsi untuk menekan sekresi prolaktin oleh pituitary anterior, secara signifikan dapat menurunkan kemungkinan terjadinya abortus.4
Penyebab abortus habitualis untuk sebagian besar tidak diketahui. Oleh karena itu, penanganannya terdiri atas: memperbaiki keadaan umum, pemberian makanan yang sempurna, anjuran istirahat cukup banyak, larangan koitus dan olah raga. Adanya risiko perdarahan pervaginam yang hebat maka perlu diperhatikan adanya tanda-tanda syok dan hemodinamik yang tidak stabil serta tanda-tanda vital. Jika pasien hipotensi, diberikan secara intravena-bolus salin normal (NS) untuk stabilisasi hemodinamik, memberikan oksigen, dan mengirim jaringan yang ada, ke rumah sakit untuk diperiksa.1

X. Komplikasi
Komplikasi abortus habitualis adalah sebagai berikut :1
• Perdarahan
Penyebab kematian kedua yang paling penting adalah perdarahan. Perdarahan dapat disebabkan oleh abortus yang tidak lengkap atau cedera organ panggul atau usus. Perdarahan dapat diatasi dengan pengosongan uterus dari sisa-sisa hasil konsepsi dan jika perlu pemberian transfusi darah. Kematian biasanya disebabkan oleh tidak tersedianya darah atau fasilitas transfusi rumah sakit serta keterlambatan pertolongan yang diberikan.
• Infeksi
Sebenarnya pada genitalia eksterna dan vagina dihuni oleh bakteri yang merupakan flora normal. Khususnya pada genitalia eksterna yaitu staphylococci, streptococci, Gram negatif enteric bacilli, Mycoplasma, Treponema (selain T. paliidum), Leptospira, jamur, Trichomonas vaginalis, sedangkan pada vagina ada lactobacili,streptococci, staphylococci, Gram negatif enteric bacilli, Clostridium sp., Bacteroides sp, Listeria dan jamur. Organisme-organisme yang paling sering mengakibatkan infeksi paska abortus adalah E.coli, Streptococcus non hemolitikus, Streptococci anaerob, Staphylococcus aureus, Streptococcus hemolitikus, dan Clostridium perfringens. Bakteri lain yang kadang dijumpai adalah Neisseria gonorrhoeae, Pneumococcus dan Clostridium tetani. Streptococcus pyogenes potensial berbahaya oleh karena dapat membentuk gas.
• Sepsis
• Syok
Syok pada abortus bisa terjadi karena perdarahan (syok hemoragik) dan karena infeksi berat.

XI. Prognosis

Prognosis tergantung pada etiologi dari abortus spontan sebelumnya, umur pasien, dan umur kehamilan. Koreksi kelainan endokrin pada wanita dengan abortus habitualis memiliki prognosis yang baik untuk terjadinya kehamilan yang sukses (> 90%). Angka kelahiran hidup setelah rekaman denyut jantung janin pada 5-6 minggu usia kehamilan pada wanita dengan abortus habitualis disebutkan sekitar 77%. Ketika USG panggul transvaginal menunjukkan embrio paling sedikit 8 minggu diperkirakan usia kehamilan (EGA) dan aktivitas jantung, laju keguguran untuk pasien yang lebih muda dari 35 tahun adalah 3-5% dan untuk mereka yang di atas 35 tahun, sebanyak 8%. Prognosis yang kurang baik bila pada pemeriksaan USG didapatkan tingkat aktivitas jantung janin kurang dari dari 90 kali per menit, suatu kantung kehamilan berbentuk atau berukuran tidak normal, dan perdarahan subchorionic yang hebat. Tingkat keguguran secara keseluruhan untuk pasien di atas 35 tahun adalah 14% dan untuk pasien yang berumur di bawah 35 tahun adalah 7%.1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar