A. PENDAHULUAN
Tubuh
dapat diibaratkan sebuah mesin yang luar biasa yang memiliki sebuah sistem imun. Organ dari sistem imun mencakup
sumsum tulang, timus, limpa, dan limfe nodus. Limfe nodus merupakan bagian dari
sistem limfatik tubuh dan
mereka berfungsi sebagai penyaring antigen (benda asing) yang berada dalam
cairan limfe sebelum mengembalikannya ke sirkulasi. Ketika sistem imun berfungsi
baik, tubuh tidak mudah sakit. Akan tetapi, jika sistem imun tidak
berfungsi dengan baik, tubuh akan mudah terkena penyakit.1
Sistem imun mengacu pada
kemampuan tubuh menahan atau mengeliminasi benda asing atau sel abnormal yang
potensial berbahaya. Aktifitas-aktifitas berikut berkaitan dengan sistem pertahanan imun,
yang berperan penting dalam mengenali dan menghancurkan atau menetralisasi
benda-benda di dalam tubuh yang dianggap asing oleh “tubuh normal”.
1. Pertahanan
terhadap patogen penginvasi (mikroorganisme penghasil penyakit misalnya; virus dan bakteri).
2. Pengeluaran
sel-sel yang “aus” (misalnya sel darah merah yang tua) dan debris jaringan
(misalnya jaringan yang rusak oleh trauma atau penyakit). Yang terakhir ini
penting untuk penyembuhan luka dan perbaikan jaringan.
3. Identifikasi
dan destruksi sel abnormal atau mutan yang berasal dari tubuh sendiri. Fungsi
ini, yang diberi nama surveilans imun, adalah mekanisme pertahanan internal
utama terhadap kanker.
4. Respon
imun yang tidak sesuai yang menimbulkan alergi, yaitu tubuh bereaksi terhadap
zat kimia dari lingkungan yang tidak berbahaya, atau penyakit autoimun, yaitu saat sistem pertahanan secara
salah menghasilkan antibodi
terhadap tubuh sendiri, sehingga terjadi kerusakan sel jenis tertentu dalam
tubuh.
5. Penolakan
sel-sel jaringan asing, yang menjadi kendala utama dalam transplantasi organ.2
Peranan
utama dari sistem
imun adalah untuk melindungi tubuh dari invasi organisme asing dan produk
toksin mereka. Hal ini membutuhkan kemampuan untuk mendiskriminasikan antara self antigen dan nonself antigen, sehingga sistem
imun dapat merusak organisme
yang menyerang dan bukan jaringan normal. Dalam kehamilan,
janin yang merupakan antigen asing bertumbuh didalam ibunya selama 9 bulan,
tidak terancam oleh sistem
imun ibu. Singkatnya, adaptasi imun harus terjadi pada kehamilan yang sangat
penting untuk kelangsungan hidup janin sambil mempertahankan kemampuan ibu
untuk melawan infeksi.3
Lebih dari 50 tahun yang lalu Billinghamdan Medawar mencetuskan konsep bagaimana janin di dalam kandungan ibu dapat
hidup hingga usia kehamilan cukup bulan tanpa mengalami reaksi penolakan dari
sistem imun maternal. Konsep ini dilahirkan untuk menjawab pertanyaan bagaimana
janin dapat bertahan hidup di dalam kandungan ibunya tanpa memicu suatu reaksi
penolakan sama sekali dari tubuh ibunya, meskipun janin tersebut memiliki antigen
yang berasal dari ayahnya. Konsep bahwa janin
memiliki genom yang berasal sebagian dari ayah dan sebagian dari ibu sehingga
janin akan mempresentasikan antigen yang terdapat pada ayah dan ibu
(semi-alogenik) telah diketahui sebelumnya. Ekspresi antigen paternal janin di
dalam tubuh ibu tentu dapat memicu reaksi penolakan sistem imun maternal
berdasarkan hukum transplantasi. Keberhasilan transplantasi organ padat akan
sangat ditentukan oleh reaksi penolakan sistem imun resipien terhadap
aloantigen yang diekspresikan oleh jaringan donor. Namun, dengan perkembangan
teknologi di dalam bidang kedokteran reaksi penolakan sistem imun resipien
terhadap aloantigen jaringan donor saat ini dapat dicegah dengan pemberian
obat-obatan imunosupresi.4
Janin adalah suatu jaringan yang
bersifat alogenik dan berada di dalam tubuh seorang ibu yang memiliki
imunokompeten untuk menimbulkan suatu reaksi penolakan. Billingham dan Medawar
membuat beberapa hipotesis yang mencoba untuk menjelaskan mengapa sistem imun
maternal tidak bereaksi terhadap janin yang bersifat semi-alogenik, sebagai
berikut; (1). Hipotesis mengenai pemisahan
secara anatomis antara maternal dan janin; (2). Hipotesis mengenai imunogenisitas dari janin yang
rendah karena masih bersifat imatur; (3). Hipotesis mengenai kelambanan atau kemalasan sistem
imun maternal untuk bereaksi terhadap antigen-antigen dari janin. Berdasarkan hasil-hasil penelitian
selanjutnya, ternyata dapat disimpulkan bahwa sistem imun maternal menunjukkan
toleransi terhadap antigen-antigen yang terdapat pada jaringan janin. Selanjutnya timbul pertanyaan, apakah
jaringan janin yang bersifat semialogenik tersebut langsung mengadakan kontak
dengan sistem imun maternal karena pada kenyataannya sirkulasi keduanya tetap
terpisah selama masa kehamilan. Pada
kenyataannya bahwa hanya jaringan plasenta dan membran janin sajalah yang
langsung mengadakan kontak dengan sirkulasi maternal. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa terdapat
karakteristik-karakteristik tertentu yang bersifat spesifik dari jaringan
plasenta dan membran janin yang dapat memicu toleransi sistem imun maternal
pada jaringan janin. Selain pada sisi janin, diduga pula bahwa terjadi
perubahan pada sistem imun maternal selama kehamilan sehingga akan memicu
reaksi toleransi terhadap jaringan janin.4
B.
KLASIFIKASI
SISTEM IMUN
B.1. Imunitas bawaan (Imunitas non-spesifik)
Epitel
permukaan tubuh merupakan pertahanan pertama terhadap infeksi. Pertahanan
epitel mekanis terhadap infeksi mencakup pergerakan siliar pada mucus dan ikatan sel
epitel yang ketat yang mencegah mikroorganisme untuk masuk ke dalam ruang
interseluler dengan mudah. Mekanisme pertahanan secara kimiawi mencakup enzim
(misal, lisosim dalam saliva, pepsin), pH yang rendah didalam usus, dan peptide
antibakterial yang membunuh
bakteri. Mekanisme mikrobiologi juga ada untuk mencegah infeksi bakteri.
Misalnya, flora normal pada intestinal dan vagina bersaing untuk zat gizi dan
perlekatan epitel dengan bakteri
yang lain dan dapat menghasilkan senyawa antibakteri. Setelah memasuki jaringan,
banyak bakteri patogen yang dikenali, dicerna, dan dibunuh oleh fagosit, sebuah
proses yang di mediasi oleh makrofag dan neutrofil.5
Pertahanan–pertahanan
non spesifik yang beraksi tanpa memandang apakah agen pencetus pernah atau belum pernah dijumpai
adalah:
·
Peradangan, suatu
respon non-spesifik terhadap cedera jaringan, pada keadaan ini
spesialis-spesialis fagositik – neutrofil dan makrofag – berperan penting
disertai bantuan dari sel-sel imun jenis lain.
·
Interferon, sekelompok
protein yang secara nonspesifik mempertahankan tubuh terhadap infeksi virus.
·
Sel natural killer, sel
jenis khusus mirip limfosit yang secara spontan dan relatif nonspesifik melisiskan
(menyebabkan ruptur) dan menghancurkan sel pejamu yang terinfeksi virus dan sel
kanker.
·
Sistem komplemen,
sekelompok protein plasma inaktif yang apabila diaktifkan secara sekuensial,
menghancurkan sel asing dengan menyerang membrane plasma. Sistem komplemen dapat
secara nonspesifik diaktifkan oleh adanya benda asing. Sistem ini juga dapat diaktifkan
oleh antibodi
yang dihasilkan sebagai bagian dari respon imun spesifik terhadap mikroorganisme
tertentu.2
Selain kekebalan
bawaan, tubuh manusia juga mempunyai kemampuan membentuk kekebalan spesifik
yang sangat kuat terhadap setiap agen penginvasi seperti bakteri yang
mematikan, virus, toksin, dan jaringan asing dari binatang lain. Kekebalan ini
dinamakan kekebalan dapatan atau kekebalan adaptif. Fungsi dari sistem imun adaptif atau
didapat adalah untuk mengeliminasi
infeksi sebagai lini kedua dari sistem
imunitas dan meningkatkan perlindungan terhadap re-infeksi melalui memori
imunologi. Terdapat 2 jenis imunitas dapatan yaitu imunitas yang diperantarai
oleh antibodi
atau imunitas humoral yang melibatkan pembentukan antibodi oleh turunan limfosit
B yang dikenal sebagai sel plasma dan imunitas yang diperantarai oleh sel atau
imunitas seluler yang melibatkan pembentukan limfosit T aktif yang secara
langsung menyerang sel-sel yang tidak diinginkan.2, 6
Limfosit B dan T
memiliki riwayat hidup yang berbeda dan sifat serta fungsi yang berbeda.
Limfosit mampu mengenali secara spesifik dan berespon secara selektif terhadap
berbagai agen asing yang jenisnya hampir tidak terbatas serta terhadap sel
kanker. Proses pengenalan dan respon pada sel B dan T berbeda. Mikroorganisme
beserta produk-produknya yang berada di ekstraselular akan dikenali oleh
reseptor-reseptor yang ada pada sel limfosit B, dalam hal ini adalah antibodi. Sementara untuk mikroorganisme yang berada
di intrasel, produk-produknya akan dikenali oleh reseptor-reseptor dari
limfosit T (T cell receptor = TCR). TCR akan mengenali
fragmen-fragmen peptida yang berasal dari mikroorganisme intrasel dan
dipresentasikan oleh HLA pada permukaan sel atau sel-sel khusus yang disebut
sebagai Antigen Presenting Cells (APC).2,4
Seperti telah disebutkan sebelumnya HLA
memegang peranan penting dalam hal aktivasi respons imun baik yang bersifat innate
maupun adaptif. Kalau sistem imun innate cara mengenali antigennya
lebih kepada pengenalan struktur karbohidrat ataupun lipid yang asing, yang
tidak ditemukan di dalam tubuh (non-self), maka respons imun adaptif
lebih melakukan pengenalan kepada struktur peptida yang berasal dari protein asing
(non-self). Pengenalan terhadap struktur peptida ini akan lebih
menguntungkan karena diversitas struktur peptida ternyata lebih banyak jika dibandingkan
dengan karbohidrat ataupun lipid. Oleh karena itu, diharapkan sistem imun
adaptif dapat lebih mengenali secara spesifik suatu imunogen sehingga dapat
memicu suatu respons imun yang lebih spesifik.
HLA adalah suatu molekul yang akan
mempresentasikan fragmen peptida pada permukaan sel. Fragmen peptida yang
dipresentasikan oleh HLA berasal dari protein eksogen
ataupun endogen yang diproses baik melalui jalur endositik (HLA kelas II)
maupun jalur skosolik (HLA kelas I). Fragmen peptida yang dipresentasikan juga
berasal dari protein self dan non-self . Oleh karena proses tadi berjalan secara terus menerus,
maka permukaan sel akan dipenuhi oleh HLA-HLA dengan fragmen peptidanya
masing-masing. Sel-sel yang tidak terinfeksi tentu saja hanya akan
mempresentasikan fragmen-fragmen peptida self. Oleh karena itu, HLA juga
bersifat sebagai pertanda imunogenik di mana memiliki fungsi untuk membedakan
antara sel-sel yang berasal dari diri sendiri (self) dengan sel-sel yang
berasal dari orang lain
(non-self) atau disebut sebagai histokompatibilitas. Oleh karena itu,
HLA sering disebut pula Major Histocompatibility Complex (MHC) yang ada
pada manusia. Dasar-dasar pengetahuan
mengenai HLA saat ini telah jauh berkembang seiring dengan semakin majunya ilmu
kedokteran transplantasi. Hal ini jugalah yang mendasari pemikiran-pemikiran
mengenai keilmuan imunologi reproduksi.
HLA berdasarkan struktur dan fungsinya
terdiri atas 2 kelas, yaitu kelas I dan kelas II. HLA akan dikoding oleh gen
yang terletak pada kromosom no 6 tepatnya padaregio 6p21.31 (lengan
pendek). Paling tidak telah dikenali 20 gen dari HLA kelas I yang hanya mengoding untuk rantai α
saja, di mana tiga di antaranya termasuk ke dalam kelompok HLA klasik/kelas la
di antaranya adalah HLA-A, HLA-B, dan HLA-C. HLA kelas I yang klasik memiliki
fungsi untuk mempresentasikan fragmen peptida (antigen) kepada sel limfosit T
sitotoksik (CD8+) dan biasanya dimiliki oleh seluruh sel somatik meski
ekspresinya akan
sangat bervariasi bergantung pada
jenis jaringannya. Selain HLA kelas I klasik, juga terdapat kelompok
nonklasik/kelas lb yang terdiri atas HLA-G, HLA-E, dan HLA-F. HLA non-klasik seperti HLA-G banyak dibicarakan perannya dalam
menentukan keberhasilan kehamilan. Sementara gen yang akan mengoding HLA kelas
II akan mengoding rantai α dan β dan penamaannya akan menggunakan 3 huruf: (1)
D untuk menyatakan kelas II; (2) M, O, P, Q, atau R untuk menunjukkan famili;
dan (3) A atau B untuk menunjukkan rantai α atau β. Yang sering dikenal adalah
HLA-DP, HLA-DQ, dan HLA-DR. HLA kelas II berfungsi untuk mempresentasikan
fragmen peptida (antigen) kepada sel limfosit T helper (CD4+) dan
biasanya di ekspresikan
oleh subkelompok dari sel-sel
imun seperti sel dendritik makrofag,
limfosit B, limfosit T yang teraktivasi, dan epitelial timus.
Tiap HLA memiliki kemampuan untuk mengikat fragmen peptida pada peptide binding
site-nya. Masing-masing HLA memiliki peptide
binding site yang bentuknya berbeda, sehingga fragmen peptida yang akan
terikat juga akan berbeda. Hal ini sangat ditentukan oleh protein HLA yang
dikoding oleh kromosom 6. Seorang manusia akan menerima gen yang berasal dari
kedua orang tuanya. Satu gen yang berasal dari ayah dan satu gen yang berasal
dari ibu. Oleh karena itu, apabila HLA kelas I terdapat 3 lokus gen dan HLA
kelas II memiliki 3 lokus gen, maka setiap individu akan memiliki 6 jenis HLA
kelas I dan 6 jenis HLA kelas II. Saat ini diketahui tiap lokus gen HLA
memiliki beberapa alel, contohnya HLA-A dapat memiliki 115 alel, sementara
HLA-B dapat memiliki 301 alel. Oleh karena itu, gen HLA dikenal sebagai sistem
gen yang bersifat paling polimorfik Bagian yang polimorfik ini justru umumnya
terdapat pada peptide binding site. Oleh karena itu, tiap jenis HLA dari
alel yang berbeda dapat mengikatf ragmen peptida yang berbeda pula. Selain
bersifat polimorfik, HLA akan diekspresikan secara
kodominan, yang berarti apabila seseorang memiliki 6 jenis HLA kelas I, maka
keenam-enamnya akan diekspresikan pada
setiap permukaan sel somatik.
C.
RESPON
IMUN DALAM KEHAMILAN
Kehamilan
ditandai oleh toleransi maternal dari paternal
major histocompatibility antigens sambil mempertahankan kompetensi imunitas
terhadap infeksi. Hal ini dapat tercapai dengan beberapa mekanisme, yang
mencakup: fetal trophoblastic evasion of
maternal immune detection (minimal dengan kegagalan untuk mengeluarkan
molekul antigen histocompatibilitas mayor kelas I atau II); pengeluaran ligand
Fas trofoblast; pengeluaran complement
regulatory protein CD46, CD55, dan CD59 (yang memiliki efek perlindungan);
sel sitotrofoblas ekstravilli yang mengeluarkan gen histokompatibilitas mayor
non-klasik yang mengkodekan HLA-G (menurunkan fungsi sel natural killer); dan produksi sitokin desidua. Perubahan ini
berefek pada timus dan sel B, yang berperan terhadap penekanan respon autoimun
serta perubahan pada sel T yang bersirkulasi dan lokal.7
Biasanya,
kehamilan dari sudut pandang imunologi, telah dilihat sebagai sebuah konflik
antara janin semiallogenik dan ibu dimana kelangsungan hidup janin bergantung
pada penekanan respon imun maternal. Akan tetapi, telah jelas bahwa sementara
fungsi limfosit mengalami perubahan pada saat kehamilan, tidak terdapat
penekanan respon imun maternal yang meluas. Konsep kontemporer dalam imunologi
reproduktif sekarang menekankan pada sifat kooperatif dari interaksi antara sel
individual dan molekul sistem
imun dan janin dalam mengatur hasil luaran kehamilan. Saat ini perhatian
berpusat pada keterkaitan antara sel natural killer dan kegagalan reproduktif.
Sel
natural killer merupakan limfosit yang menjadi bagian dari sistem imun bawaan.
Sel NK dapat dibagi menjadi sel yang ditemukan pada darah perifer dan yang
terdapat pada desidua uterus. Terdapat perbedaan fenotip dan fungsional yang
penting pada kedua tempat ini. Tidak seperti sel NK darah perifer, sel NK
uterus memiliki kemampuan membunuh yang kecil. Analisis micro-assay yang dikombinasikan dengan flow cytometric
dan penelitian RT-PCR telah memperlihatkan bahwa fenotip sel NK uterus berbeda
dari sel NK dalam darah perifer.
Respon
sitokin pada hubungan maternal-fetal saat ini juga menjadi subjek penelitian.
Respon ini secara umum dapat dibagi menjadi respon tipe Th-1 (yang ditandai
oleh produksi interleukin-2, interferon-γ dan TNF-β) atau respon tipe Th-2
(yang ditandai oleh produksi antibody pemblok pada mask fetal trophoblast antigen yang berasal dari perkenalan
imunologis oleh respon sitotoksik yang dimediasi oleh sel Th-1 maternal.
Sebaliknya, wanita yang mengalami aborsi rekuren cenderung lebih dominan
menghasilkan respon sel tipe Th-1 pada periode implantasi embrionik dan selama
kehamilan. Imuno-modulasi dari respon sitokin
pada saat awal kehamilan mencerminkan adanya kemungkinan besar untuk melakukan
percobaan terapi di masa yang akan datang.8
Lebih
dari lima puluh tahun lalu pemenang nobel Peter B Medawar mengajukan sesuatu
yang dikenal sebagai “paradox imunologis dalam kehamilan.” Medawar berargumen
janin itu seperti transplant setengah asing, karena setengah gennya berasal
dari sang ayah. Oleh karena itu, dia menyimpulkan, sistem imun ibu dan janin
akan mengalami masalah. Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa sistem imun
aktif pada tempat dimana embrio yang berkembang melekat pada uterus pada
permulaan kehamilan. Sehingga sistem imun maternal yang agresif akan menyerang
embrio, sehingga embrio mengambil tindakan defensive.9,10
Yang
terbaru, ahli imunologi telah menyatakan apakah paparan terhadap protein dalam
cairan semen dapat membantu agar sistem imun wanita dapat bersiap untuk
konsepsi dan kehamilan. Tremellen dan rekannya telah meneliti sebuah protein
yang disebut TGF, yang ditemukan dalam kadar yang cukup tinggi dalam semen.
Mereka menyuntikkan TGF kedalam uterus tikus yang disertai dengan beberapa
protein asing, dan menemukan bahwa injeksi protein yang sama di bawah kulit tidak
mengurangi kekuatan reaksi imun. Tremellen percaya bahwa ‘imunisasi’ dengan TGF
melalui hubungan seksual membantu sistem imun maternal belajar untuk mentolerir
antigen dalam semen dengan merubah produksi molekul peradangan yang disebut
sitokin. Dia telah menunjukan bahwa fertilisasi in vitro jauh lebih berhasil
jika pasangan telah melakukan hubungan seksual sebelum dilakukannya IVF.11
Terdapat
paradox dalam sebuah kehamilan bahwa, walaupun kemampuan ibu untuk menghasilkan
antibody tampak normal, kemampuan mereka untuk menyusun respon imun yang
dimediasi sel menjadi lemah. Konsep ini didukung oleh pengamatan klinis bahwa
wanita hamil, walaupun tidak mengalami penurunan sistem imun yang terlalu
parah, lebih rentan mengalami penyakit yang normalnya berkaitan dengan respon
imun yang dimediasi oleh sel. Infeksi virus tertentu, seperti hepatitis, herpes
simplek, dan Epstein-barr, lebih sering terjadi pada kehamilan. Penyakit yang disebabkan
oleh pathogen intraseluler (misal lepra, tuberculosis, malaria, toksoplasmosis,
dan coccidioidomycosis) tampaknya dapat menjadi lebih parah pada kehamilan.
Lebih lanjut lagi, sekitar 70% wanita dengan rheumatoid arthritis (yang
disebabkan oleh sel T sitotoksik pada daerah persendian) mengalami penyembuhan
sementara pada gejalanya pada saat gestasi, sedangkan SLE (yang disebabkan oleh
autoantibody) cenderung menjadi buruk pada saat kehamilan.3, 12
Dapat disimpulkan bahwa
sistem imun secara signifikan berubah pada saat kehamilan dan
perubahan-perubahan ini penting untuk mendukung plasentasi yang normal dan agar
kehamilan dapat berjalan normal dan sehat. Gangguan pada sistem imun maternal
dapat mengganggu keseimbangan yang baru saja terbentuk antara toleransi dan
imunitas pada saat kehamilan dan dapat mempengaruhi plasenta. Hasil luaran
dan/atau perjalanan kehamilan.12
D.
MEKANISME
TOLERANSI FETAL
Kehamilan
adalah sebuah fenomena imunologis yang unik, dimana penolakan imun normal
terhadap jaringan asing tidak terjadi. Plasenta bukanlah pembatas antara sel
maternal dan janin, dan sel-sel ini mengalami kontak langsung pada beberapa
lokasi, yang mencerminkan hubungan maternal-fetal. Syncytiotrofoblast, lapisan
paling luar dari vili chorionic, melakukan kontak langsung dengan darah ibu
dalam ruang intervilli. Trofoblas ekstravilli dalam desidua melakukan kontak
dengan berbagai macam sel maternal, yang mencakup makrofag, sel NK uterus, dan
sel T. trofoblas endovascular menggantikan sel endothelial pada arteri spiral
maternal dan berkontak langsung dengan darah maternal. Akhirnya, makrofag janin
dan maternal berkontak dengan lapisan chorion pada membrane janin.5
Mekanisme toleransi
imunologi janin harus bekerja pada penghubung janin-ibu untuk mencegah
penolakan pada janin. Sekitar 30% wanita primipara atau multipara membentuk
antibody terhadap HLA janin paternal yang diwariskan. Persistensi dari
antibody-antibodi ini tidak tampak membahayakan janin. Sel fetal yang persisten
dalam ibu dapat memainkan peranan dalam persistensi antibodi-antibodi ini,
karena pada beberapa wanita antibodinya menetap, sedangkan pada ibu yang lain
antibody ini tidak tampak. Pembentukan antibody IgG terhadap antigen HLA
paternal yang diwariskan berkaitan dengan adanya limfosit T sitotoksik yang
spesifik untuk antigen HLA ini. Limfosit T maternal yang spesifik untuk antigen
janin juga muncul pada saat hamil, tetapi kurang responsive.5
·
Toleransi melalui
antigen leukosit manusia (HLA)
Trofoblas
janin dan sel dalam membrane plasenta berkontak langsung dengan sel dan darah
maternal, dan seharusnya
beresiko mengalami penolakan imunologis. Pengeluaran molekul MHC oleh sel-sel
fetal ini pada awalnya sepertinya tidak menguntungkan yang dapat memicu respon imun yang menolak
perlekatan janin pada uterus. Dari berbagai macam bentuk trofoblas plasenta,
hanya sel trofoblas ekstravilli yang mengeluarkan molekul MHC kelas I (HLA-C,
-E, dan
-G). Berdasarkan
ekspresi HLA-nya, populasi sel-sel trofoblas dapat dibagi menjadi 3 populasi,
yaitu (a) sel-sel trofoblas yang melapisi ruang intravili. Sel-sel trofoblas di
sini akan langsung mengadakan kontak dengan sel-sel imun maternal
dari sirkulasi maternal, maka sel-sel trofoblasnya
tidak akan mengekspresikan HLA kelas I sama sekali; (b) sel-sel trofoblas endovaskular, yaitu sel-sel
trofoblas yang menginvasi pembuluh darah arteri spiralis. Sel-sel trofoblas di
sini akan berkontak
dengan sel-sel imun maternal pada sirkulasi maternal. Namun, bedanya sel-sel trofoblas tersebut mengekspresikan HLA
kelas I, seperti HLA-G, HLA-E, dan HLA-C; dan (c) sel-sel trofoblas yang akan
menginvasi lapisan desidua. Sel-sel ini juga berpotensi untuk berkontak dengan
sel-sel imun maternal yang terdapat pada lapisan desidua. Maka, sel-sel
trofoblas pada lapisan ini juga hanya akan mengekspresikan HLA-G, HLA-E, dan
HLA-C.4,5
Karena
distribusinya yang unik pada jaringan trofoblastik janin, HLA-G diperkirakan
menjadi komponen yang penting dalam toleransi janin. Meskipun fungsi pasti dari
HLA-G masih belum diketahui, bukti menunjukkan bahwa HLA-G melindungi
sitotrofoblast invasif agar tidak dibunuh oleh sel NK-uterus. HLA-G, yang
berinteraksi dengan sel NK-U, kemungkinan berperan pada pemeliharaan toleransi
imun pada penghubung maternal-fetal dan kehamilan yang normal.3,5
·
Toleransi melalui
pengaturan sel T maternal
Sel T maternal berada
dalam keadaan toleransi transien untuk alloantigen paternal tertentu. Hal ini
telah diperlihatkan pada tikus betina yang disensitisasi untuk mengenali
antigen paternal sebelum hamil. Tikus betina menjadi toleran terhadap antigen
paternal yang sama yang dikeluarkan oleh janin yang sebelumnya telah dikenali
dan dihancurkan. Oleh karena itu harus terdapat beberapa mekanisme untuk
menekan respon sel T maternal.
Sebuah
populasi special dari sel T, yang disebut sel T pengatur, menekan respon imun
terhadap antigen tertentu dan meningkat dalam sirkulasi maternal pada wanita
dan tikus betina pada saat hamil. Sel T pengatur (CD4+ CD25+)
terutama berperan untuk mencegah respon autoimun yang terjadi jika sel T self-reactive keluar dari timus pada
saat perkembangan sel yang normal. Mekanisme penekanan sel T pengatur pada
respon sel T masih belum diketahui tetapi mungkin melibatkan kontak sel secara
langsung atau menghasilkan sitokin anti-peradangan.5
Cara
lain untuk menekan sel T maternal pada penghubung maternal-fetal melibatkan
deplesi triptofan oleh indoleamine 2,3 dioxygenase (IDO), sebuah enzim yang
mengkatabolisasikan triptofan. IDO dalam keadaan normal berfungsi sebagai
mekanisme pertahanan antimikroba bawaan dengan cara memungkinkan sel untuk
menghapus triptofan dari kelompok intraseluler atau lingkungan mikro lokal. IDO
dipertimbangkan berperan untuk membuat sel T menjadi kurang responsive pada
saat hamil, karena triptofan adalah sebuah asam amino essensial untuk fungsi
sel T.5
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonymous.
Immune Sistem Function During And After
Pregnancy. Available from www.pregnancy-info.com.
Accessed on march 5, 2012.
2. Sherwood,
L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem
ed 2. EGC: Jakarta. 2001.
3. Reece
Albert E, et al. Clinical Obstetric the
Fetus and Mother, 3rd edition. Massachusets, Blackwel
publishing; 2007.
4. Wiknjosastro
H. Kontrasepsi. Ilmu Kandungan.
Edisi kedua. 2010.
Yayasan bina pustaka sarwono prawirohardjo; Jakarta.
Hal. 534-535.
5.
Gabbe, S et al. Obstetrics Normal and Problem Pregnancies.
Ed 5. Philadelphia: Churcill Livingstone. 2007.
6. Guyton
C Arthur. Guyton Fisiologi Manusia dan
Mekanisme Penyakit. EGC: Jakarta. 2002.
7. Martin L. Pernoll, M.D. Handbook of Obstetriks and Gynecology 10th
edition. New York, McGraw-Hill Companies. 2001.
8. Edmonds
D. Keith. Dewhurst’s Textbook of Obstetrics & Gynaecology, 7th edition.
London, Blackwell. 2007.
9. Mor
G. Pregnancy reconceived: what keeps a
mother's immune sistem from treating her baby as foreign tissue? A new theory
resolves the paradox. Available from www.findarticle.com.
Accessed on march 5, 2012.
10. Cardenas
I. The Immune Sistem in Pregnancy: A
Unique Complexity. Available from www.ncbi.nlm.nih.gov.
Accessed on march 5, 2012.
11. Pearson
H. Maternal Immune Response to Pregnancy.
Available from www.nature.com.
Accessed on march 5, 2012.
12. Anonymous.
Adjuvanted Vaccines in Pregnancy: What is
Known About Their Safety?: Pregnancy & the Immune Sistem. Available
from www.emedicine.com.
Accessed on march 5, 2012.
Borgata Hotel Casino & Spa - Dr. MD
BalasHapusThe Borgata Hotel Casino & Spa. 3131 당진 출장샵 Borgata Way, Atlantic City, NJ 평택 출장안마 08401. Phone: (609) 경상남도 출장샵 317-8000. Website. www.borgata.com. 춘천 출장마사지 Hours, Phone 경산 출장안마 Number, Reviews. Rating: 4.5 · 2,361 reviews