I.
PENDAHULUAN
I.1
Latar Belakang
Di dalam Undang-Undang Dasar 1945, ditegaskan bahwa
sistem pemerintahan Indonesia adalah berdasarkan hukum tidak berdasarkan atas
kekuasaan belaka. Dengan demikian, atas dasar hal tersebut, maka semua
perbuatan yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun negara harus berdasarkan
hukum. Salah satu ketentuan yang mengatur bagaimana aparatur penegak hukum
melaksanakan tugasnya terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) yang mempunyai tujuan untuk mencari dan mendekati kebenaran materiil
yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana sehingga
suatu tindak pidana dapat terungkap dan pelakunya dijatuhi putusan yang
seadil-adilnya.1
Dalam proses persidangan, hal yang penting adalah yaitu
proses pembuktian sebab jawaban yang akan ditemukan dalam proses pembuktian merupakan
salah satu hal yang utama untuk Majelis Hakim dalam memutuskan suatu perkara
tindak pidana. 1
(1)
Alat bukti yang sah ialah:
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa.
(2)
Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan
Dalam Pasal 1 butir 28 KUHAP menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan
keterangan saksi ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang
memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu
perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Keahlian khusus yang dimiliki oleh
seorang saksi ahli tidak dapat dimiliki oleh sembarangan orang, karena
merupakan suatu pengetahuan yang pada dasarnya dimiliki oleh orang tertentu.1
Pasal 44 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) menjelaskan
bahwa, tidak dikenakan hukuman terhadap barang siapa yang melakukan suatu
perbuatan pidana, yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya, disebabkan
karena kurang sempurnanya kemampuan berfikir atau karena sakit ingatannya.1,2
Berdasarkan penjelasan Pasal 44 ayat (1) di atas, untuk dapat mengetahui
“kurang sempurna kemampuan berfikir atau sakit ingatan”, maka diperlukan suatu
keahlian khusus. Dalam hal ini orang yang memiliki keahlian khusus, yaitu ahli
psikiatri forensik. Dengan demikian, maka ahli psikiatri forensik memiliki
peran dan kedudukan khusus dalam penyelesaian perkara pidana.1,2
Dalam
hukum pidana modern yang merupakan bagian dari politik kriminal
disamping penanggulangan menggunakan sistem pidana, dari usaha yang rasional
menanggulangi kejahatan masih ada cara lain untuk melindungi masyarakat dari
kejahatan. Misalnya usaha peningkatan jiwa masyarakat, maka setiap orang
menjadi sadar untuk berperilaku sesuai dengan hukum, dalam upaya menyelaraskan
kehidupan masyarakat karena mempertinggi tingkat kesadaran (kesehatan) jiwa
manusia terhadap hukum berarti sekaligus ikut menunjang sehatnya penegakan
hukum.2
Kejahatan penculikan yang dilakukan oleh wanita,
kejahatan pencurian atau perampokan tertentu, pembunuhan bayi, perkosaan,
kejahatan sex tertentu, perbuatan kenakalan dan lain-lainnya itu merupakan
pelanggaran hukum yang berkaitan dengan kesehatan jiwa seseorang. Dalam upaya
menanggulangi kejahatan yang dilakukan oleh seseorang dalam masyarakat
terkadang para penegak hukum belum mampu mendapatkan hasil yang maksimal,
misalnya dengan adanya kasus-kasus yang berkaitan dengan pemeriksaan kesehatan
mental atau jiwa dari baik pelaku, saksi, atau pihak-pihak yang berkepentingan
dengan perkara tersebut tidak memeberikan keterangan yang akurat atau dalam
bahasa orang awam keterangan tersebut tidak sesuai dengan yang sesungguhnya ia
ketahui.2
I.2.
Defenisi
Ada beberapa
pengertiaan yang dikemukakan oleh ahli kedokteran forensik, diantaranya Sidney
Smith mendefinisikan ”Forensic medicine may be defined as the body of
medical and paramedical scientific knowledge which may services in the
adminitration of the law”, yang maksudnya ilmu kedokteran forensik
merupakan kumpulan ilmu pengetahuan medis yang menunjang pelaksanaan penegakan
hukum. Prof.Dr.Amri Amir,Sp.F (2007) mendefinisikan Ilmu Kedokteran Forensik
sebagai penggunaan pengetahuan dan keterampilan di bidang kedokteran untuk
kepentingan hukum dan peradilan.3
Ada kecenderuangan untuk menganggap bahwa psikiatri forensik merupakan
cabang dari ilmu kedokteran forensik. Di lain pihak, ada pula yang menganggap
psikiatri forensik merupakan cabang ilmu psikiatri. Istilah psikiatri forensik
merupakan terjemahan dari forensic
psychiatry merupakan suatu istilah yang sudah lazim digunakan psychiatry
forensik merupakan sub spesialisasi ilmu
kedokteran yang menelaah mental manusia dan berfungsi membantu hukum dan
peradilan. Sub spesialisasi ini merupakan titik singgung antara ilmu kedokteran
dan ilmu hukum dimana kegiatan utamnyanya adalah pembuatan Visum et Repertum
Psychiatricum untuk kasus pidana sebagai salah satu alat bukti seperti yang
termaktub dalam pasal 184 (1) KUHAP yakni sebagai keterangan ahli.
I.3
Sejarah
Ilmu kedokteran kehakiman mulai muncul kira-kira 2000 tahun S.M. di Mesir
yakni di Babylon yang mana terdapat undang-undang dari raja Hammurabi (codex Hammurabi) dan di dalamnya sudah
terdapat konstitusi mengenai dasar ilmu kedokteran kehakiman. Imhotep seorang
tokoh agung dan kepala arsitek dari Mesir zaman Firaun, adalah tokoh hukum besar pertama
yang menggabungkan ilmu pengetahuan dan kedokteran dan dikenal sebagai orang
yang pertama kali dijelaskan sebagai ahli medikolegal.4
Kemudian pada jaman Romawi sewaktu pemerintahan Julius Caesar sudah ada
kemajuan dalam ilmu kedokteran kehakiman, sehingga pada waktu Julius Caesar di
bunuh oleh Brutus maka dapat diketahui bahwa dari 23 luka tusukan yang ada di
tubuhnya hanya satu tusukan saja yang menyebabkan kematiannya yaitu tusukan di
dadanya.4
Cesare Lombroso ialah seorang dokter yang
menjadi bapak angkat para ahli hukum pidana dan kriminologi yang meletakkan
dasar pemikiran hubungan antara hukum pidana dan kejahatan dengan memperhatikan
faktor “manusia” pelaku kejahatan. Demikian pula Anselm
von Feuerbach juga telah memperhatikan faktor “kejiwaan” manusia dalam
merumuskan hukum pidana dan penerapan sanksi pidana.2
Dahulu, penyelidikan dalam kasus-kasus yang melibatkan ilmu pengetahuan
forensik hanya mengandalkan bukti fisik yang ada, barulah pada akhir pertengahan
abad ke-19 dimana mulai banyak ditemukan alat-alat baru di bidang ilmu
pengetahuan, penelitian di bidang ilmu forensik mulai menggunakan berbagai
macam ilmu pengetahuan yang dirasa dapat membantu dalam melakukan investigasi
atau penyelidikannya. Ilmu-ilmu itu antara lain adalah kimia, mikroskopi, dan
fotografi. Hal ini menyebabkan revolusi dalam kasus-kasus yang sedang
diselidiki pada waktu itu, dan meningkatkan validitas hasil dari penyelidikan
yang sedang dilakukan.4,5
Kemajuan ilmu pengetahuan forensik di atas mendorong kerjasama antara
pihak kepolisian dengan pihak forensik yang biasanya terdiri dari para ilmuwan
atau akademisi di bidang kimia ataupun pharmakologi, dimana pihak kepolisian
yang mencari data atau bukti yang ada sedangkan para ilmuwan di bidang forensik
yang akan meneliti bukti yang diberikan oleh pihak polisi. Seiring dengan
perkembangan jaman dan meningkatnya penduduk maka jumlah kejahatan pun semakin
meningkat, hal ini mendorong polisi mendirikan sendiri sebuah biro yang khusus
untuk meneliti masalah forensik, dengan maksud untuk lebih menjangkau dan lebih
fokus terhadap kasus-kasus yang ada.5
Perkembangan ilmu pengetahuan forensik moderen mulai tampak pada akhir
abad ke-19. Secara pelan tapi pasti para ilmuwan forensik Amerika mempelajari
tentang pathologi dan biologi, toksikologi, kriminalistik, dokumen yang
dipertanyakan, kedokteran gigi, antropologi, jurisprudensi, psikologi dan
berbagai macam pengetahuan yang berhubungan dengan ilmu forensik.
Di masa sekarang, ilmu kedokteran forensik
diartikan sebagai ilmu yang menggunakan pengetahuan ilmu kedokteran untuk
membantu peradilan baik dalam perkara pidana maupun perkara perdata. Ilmu
kedokteran kehakiman juga memiliki tujuan dan kewajiban yaitu membantu kepolisian,
kejaksaan dan kehakiman dalam menghadapi kasus-kasus perkara yang hanya dapat
dipecahkan dengan ilmu pengetahuan kedokteran. Sebagian besar masalah yang
diteliti dalam ilmu kedokteran kehakiman bersangkutan dengan suatu tindak
pidana, dan yang terpenting dalam hal ini ialah kebanyakan untuk meneliti sebab
akibat (causal verband) antara suatu
tindak pidana dengan luka pada tubuh, gangguan kesehatan atau matinya
seseorang.
Ilmu kedokteran forensik tidak semata-mata bermanfaat dalam urusan
penegakan hukum dan keadilan di lingkup pengadilan saja, tetapi juga bermanfaat
dalam segi kehidupan bermasyarakat lain, misalnya dalam membantu penyelesaian
klaim asuransi yang adil baik bagi pihak yang mengasuransi maupun yang
diasuransi, dalam membantu memecahkan masalah paternitas (penetuan ke ayah-an),
dan masih banyak hal lagi.
Agar hal-hal di atas dapat berjalan dengan baik maka di dalam bidang ilmu
kedokteran forensik dipelajari tata laksana medikolegal, tanatologi,
traumatologi, toksikologi, teknik pemeriksaan dan segala sesuatu yang terkait,
hal ini agar semua dokter dalam memenuhi kewajibannya membantu penyidik, dapat
benar-benar memanfaatkan segala pengetahuan kedokterannya untuk kepentingan
peradilan serta kepentingan lain yang bermanfaat bagi kehidupan bermasyarakat.
Kegiatan utama dari psikiatri forensik adalah membuat Visum et Repertum
Psychiatricum.5
Di dalam suatu perkara pidana dimana tertuduhnya disangka menderita
penyakit jiwa atau terganggu jiwanya, misalnya pembunuhan, maka disini forensik
psychiatry (ilmu kedokteran jiwa kehakiman) dengan foresnsik medicine (ilmu
kedokteran kehakiman) mempunyai titik pertemuannya yaitu disegi hukum terutama
dalam penyelesaian kasus perkara tersebut dalam forum peradilan.2
Dalam menentukan keadaan jiwa seseorang yang tidak sehat diperlukan
keterangan dari seorang dokter ahli jiwa. Kewajiban untuk menentukan keadaan
jiwa yang tidak sehat melalui ahli kedokteran jiwa tersebut pernah dituangkan
dalam konsep rumusan KUHP tahun 1968, tetapi kemudian rumusan tersebut
dihapuskan.2
Pada dasarnya pengadaan visum et repertum psychiatricum diperuntukan
sebagai rangkaian hukum pembuktian tentang kualitas tersangka pada waktu
melakukan perbuatan pidana dan penentuan kemampuan bertanggungjawab bagi
tersangka. Kebutuhan bantuan kedokteran jiwa dalam kenyataanya berkembang bukan
sebagai rangkaian hukum pembuktian akan tetapi untuk kepentingan kesehatan
tersangka dalam rangka penyelesaian proses pemeriksaan perkara pidana. Bantuan
kesehatan jiwa bagi si tersangka ini sangat diperlukan selain menyangkut
perlindungan hak azasi manusia juga untuk menghindarkan hal-hal yang tidak
diinginkan bagi jiwa dan raga manusia.2,3
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Kurniawan AM. Peran
dan Kedudukan Ahli Psikiatri Forensik dalam Penjelasan Perkara Pidana [Online]. 2010 [cited
2011 Oct 18].
Avalaible from : URL: etd.eprints.ums.ac.id.
2.
Ilmu Kedokteran
Kehakiman [Online]. 2010 Jul 20 [cited 2011 Oct 31]; Available from: URL: http://underlaw98.tripod.com/ilmu_kedokterankehakiman.htm
3.
Hadi S. Standar
Profesi Dokter di bidang Kedokteran Forensik [Online]. 2009 Des 08 [cited 2011
Oct 31]; Available form: URL: http://saifulhadielc.wordpress.com/2009/12/08/standar-profesi-dokter-di-bidang-kedokteran-forensik/
4.
Eckert
WG.Introduction of Forensic Sciences.CRC Press.2011;2:13-43
5.
Utomo BP. Peranan Ilmu Forensik dalam Usahan Memecahkan Kasus Kriminalitas.
avalaible from: www.medscribd.com.
Updated 5 Agustus 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar