Sabtu, 26 Mei 2012

Forensik Psikiatri


I.          PENDAHULUAN
    I.1 Latar Belakang
Di dalam Undang-Undang Dasar 1945, ditegaskan bahwa sistem pemerintahan Indonesia adalah berdasarkan hukum tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka. Dengan demikian, atas dasar hal tersebut, maka semua perbuatan yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun negara harus berdasarkan hukum. Salah satu ketentuan yang mengatur bagaimana aparatur penegak hukum melaksanakan tugasnya terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mempunyai tujuan untuk mencari dan mendekati kebenaran materiil yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana sehingga suatu tindak pidana dapat terungkap dan pelakunya dijatuhi putusan yang seadil-adilnya.1
Dalam proses persidangan, hal yang penting adalah yaitu proses pembuktian sebab jawaban yang akan ditemukan dalam proses pembuktian merupakan salah satu hal yang utama untuk Majelis Hakim dalam memutuskan suatu perkara tindak pidana. 1
Pasal 183 KUHAP menyatakan; “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Dalam penjelasan Pasal 183 KUHAP dinyatakan bahwa ketentuan tersebut demi tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang. Sementara itu, Pasal 184 KUHAP menyatakan:1
(1) Alat bukti yang sah ialah:
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;     
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa.
(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan
Dalam Pasal 1 butir 28 KUHAP menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan keterangan saksi ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Keahlian khusus yang dimiliki oleh seorang saksi ahli tidak dapat dimiliki oleh sembarangan orang, karena merupakan suatu pengetahuan yang pada dasarnya dimiliki oleh orang tertentu.1
Pasal 44 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) menjelaskan bahwa, tidak dikenakan hukuman terhadap barang siapa yang melakukan suatu perbuatan pidana, yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya, disebabkan karena kurang sempurnanya kemampuan berfikir atau karena sakit ingatannya.1,2
Berdasarkan penjelasan Pasal 44 ayat (1) di atas, untuk dapat mengetahui “kurang sempurna kemampuan berfikir atau sakit ingatan”, maka diperlukan suatu keahlian khusus. Dalam hal ini orang yang memiliki keahlian khusus, yaitu ahli psikiatri forensik. Dengan demikian, maka ahli psikiatri forensik memiliki peran dan kedudukan khusus dalam penyelesaian perkara pidana.1,2
Dalam  hukum pidana modern yang merupakan bagian dari politik kriminal disamping penanggulangan menggunakan sistem pidana, dari usaha yang rasional menanggulangi kejahatan masih ada cara lain untuk melindungi masyarakat dari kejahatan. Misalnya usaha peningkatan jiwa masyarakat, maka setiap orang menjadi sadar untuk berperilaku sesuai dengan hukum, dalam upaya menyelaraskan kehidupan masyarakat karena mempertinggi tingkat kesadaran (kesehatan) jiwa manusia terhadap hukum berarti sekaligus ikut menunjang sehatnya penegakan hukum.2
Kejahatan penculikan yang dilakukan oleh wanita, kejahatan pencurian atau perampokan tertentu, pembunuhan bayi, perkosaan, kejahatan sex tertentu, perbuatan kenakalan dan lain-lainnya itu merupakan pelanggaran hukum yang berkaitan dengan kesehatan jiwa seseorang. Dalam upaya menanggulangi kejahatan yang dilakukan oleh seseorang dalam masyarakat terkadang para penegak hukum belum mampu mendapatkan hasil yang maksimal, misalnya dengan adanya kasus-kasus yang berkaitan dengan pemeriksaan kesehatan mental atau jiwa dari baik pelaku, saksi, atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan perkara tersebut tidak memeberikan keterangan yang akurat atau dalam bahasa orang awam keterangan tersebut tidak sesuai dengan yang sesungguhnya ia ketahui.2
I.2.    Defenisi
Ada beberapa pengertiaan yang dikemukakan oleh ahli kedokteran forensik, diantaranya Sidney Smith mendefinisikan ”Forensic medicine may be defined as the body of medical and paramedical scientific knowledge which may services in the adminitration of the law”, yang maksudnya ilmu kedokteran forensik merupakan kumpulan ilmu pengetahuan medis yang menunjang pelaksanaan penegakan hukum. Prof.Dr.Amri Amir,Sp.F (2007) mendefinisikan Ilmu Kedokteran Forensik sebagai penggunaan pengetahuan dan keterampilan di bidang kedokteran untuk kepentingan hukum dan peradilan.3
Ada kecenderuangan untuk menganggap bahwa psikiatri forensik merupakan cabang dari ilmu kedokteran forensik. Di lain pihak, ada pula yang menganggap psikiatri forensik merupakan cabang ilmu psikiatri. Istilah psikiatri forensik merupakan terjemahan dari forensic psychiatry merupakan suatu istilah yang sudah lazim digunakan psychiatry forensik merupakan  sub spesialisasi ilmu kedokteran yang menelaah mental manusia dan berfungsi membantu hukum dan peradilan. Sub spesialisasi ini merupakan titik singgung antara ilmu kedokteran dan ilmu hukum dimana kegiatan utamnyanya adalah pembuatan Visum et Repertum Psychiatricum untuk kasus pidana sebagai salah satu alat bukti seperti yang termaktub dalam pasal 184 (1) KUHAP yakni sebagai keterangan ahli.
I.3     Sejarah
Ilmu kedokteran kehakiman mulai muncul kira-kira 2000 tahun S.M. di Mesir yakni di Babylon yang mana terdapat undang-undang dari raja Hammurabi (codex Hammurabi) dan di dalamnya sudah terdapat konstitusi mengenai dasar ilmu kedokteran kehakiman. Imhotep seorang tokoh agung dan kepala arsitek dari Mesir  zaman Firaun, adalah tokoh hukum besar pertama yang menggabungkan ilmu pengetahuan dan kedokteran dan dikenal sebagai orang yang pertama kali dijelaskan sebagai ahli medikolegal.4
Kemudian pada jaman Romawi sewaktu pemerintahan Julius Caesar sudah ada kemajuan dalam ilmu kedokteran kehakiman, sehingga pada waktu Julius Caesar di bunuh oleh Brutus maka dapat diketahui bahwa dari 23 luka tusukan yang ada di tubuhnya hanya satu tusukan saja yang menyebabkan kematiannya yaitu tusukan di dadanya.4
Cesare Lombroso ialah seorang dokter yang menjadi bapak angkat para ahli hukum pidana dan kriminologi yang meletakkan dasar pemikiran hubungan antara hukum pidana dan kejahatan dengan memperhatikan faktor “manusia” pelaku kejahatan. Demikian pula Anselm von Feuerbach juga telah memperhatikan faktor “kejiwaan” manusia dalam merumuskan hukum pidana dan penerapan sanksi pidana.2
Dahulu, penyelidikan dalam kasus-kasus yang melibatkan ilmu pengetahuan forensik hanya mengandalkan bukti fisik yang ada, barulah pada akhir pertengahan abad ke-19 dimana mulai banyak ditemukan alat-alat baru di bidang ilmu pengetahuan, penelitian di bidang ilmu forensik mulai menggunakan berbagai macam ilmu pengetahuan yang dirasa dapat membantu dalam melakukan investigasi atau penyelidikannya. Ilmu-ilmu itu antara lain adalah kimia, mikroskopi, dan fotografi. Hal ini menyebabkan revolusi dalam kasus-kasus yang sedang diselidiki pada waktu itu, dan meningkatkan validitas hasil dari penyelidikan yang sedang dilakukan.4,5
Kemajuan ilmu pengetahuan forensik di atas mendorong kerjasama antara pihak kepolisian dengan pihak forensik yang biasanya terdiri dari para ilmuwan atau akademisi di bidang kimia ataupun pharmakologi, dimana pihak kepolisian yang mencari data atau bukti yang ada sedangkan para ilmuwan di bidang forensik yang akan meneliti bukti yang diberikan oleh pihak polisi. Seiring dengan perkembangan jaman dan meningkatnya penduduk maka jumlah kejahatan pun semakin meningkat, hal ini mendorong polisi mendirikan sendiri sebuah biro yang khusus untuk meneliti masalah forensik, dengan maksud untuk lebih menjangkau dan lebih fokus terhadap kasus-kasus yang ada.5
Perkembangan ilmu pengetahuan forensik moderen mulai tampak pada akhir abad ke-19. Secara pelan tapi pasti para ilmuwan forensik Amerika mempelajari tentang pathologi dan biologi, toksikologi, kriminalistik, dokumen yang dipertanyakan, kedokteran gigi, antropologi, jurisprudensi, psikologi dan berbagai macam pengetahuan yang berhubungan dengan ilmu forensik.
Di masa sekarang,  ilmu kedokteran forensik diartikan sebagai ilmu yang menggunakan pengetahuan ilmu kedokteran untuk membantu peradilan baik dalam perkara pidana maupun perkara perdata. Ilmu kedokteran kehakiman juga memiliki tujuan dan kewajiban yaitu membantu kepolisian, kejaksaan dan kehakiman dalam menghadapi kasus-kasus perkara yang hanya dapat dipecahkan dengan ilmu pengetahuan kedokteran. Sebagian besar masalah yang diteliti dalam ilmu kedokteran kehakiman bersangkutan dengan suatu tindak pidana, dan yang terpenting dalam hal ini ialah kebanyakan untuk meneliti sebab akibat (causal verband) antara suatu tindak pidana dengan luka pada tubuh, gangguan kesehatan atau matinya seseorang.
Ilmu kedokteran forensik tidak semata-mata bermanfaat dalam urusan penegakan hukum dan keadilan di lingkup pengadilan saja, tetapi juga bermanfaat dalam segi kehidupan bermasyarakat lain, misalnya dalam membantu penyelesaian klaim asuransi yang adil baik bagi pihak yang mengasuransi maupun yang diasuransi, dalam membantu memecahkan masalah paternitas (penetuan ke ayah-an), dan masih banyak hal lagi.
Agar hal-hal di atas dapat berjalan dengan baik maka di dalam bidang ilmu kedokteran forensik dipelajari tata laksana medikolegal, tanatologi, traumatologi, toksikologi, teknik pemeriksaan dan segala sesuatu yang terkait, hal ini agar semua dokter dalam memenuhi kewajibannya membantu penyidik, dapat benar-benar memanfaatkan segala pengetahuan kedokterannya untuk kepentingan peradilan serta kepentingan lain yang bermanfaat bagi kehidupan bermasyarakat. Kegiatan utama dari psikiatri forensik adalah membuat Visum et Repertum Psychiatricum.5
Di dalam suatu perkara pidana dimana tertuduhnya disangka menderita penyakit jiwa atau terganggu jiwanya, misalnya pembunuhan, maka disini forensik psychiatry (ilmu kedokteran jiwa kehakiman) dengan foresnsik medicine (ilmu kedokteran kehakiman) mempunyai titik pertemuannya yaitu disegi hukum terutama dalam penyelesaian kasus perkara tersebut dalam forum peradilan.2
Dalam menentukan keadaan jiwa seseorang yang tidak sehat diperlukan keterangan dari seorang dokter ahli jiwa. Kewajiban untuk menentukan keadaan jiwa yang tidak sehat melalui ahli kedokteran jiwa tersebut pernah dituangkan dalam konsep rumusan KUHP tahun 1968, tetapi kemudian rumusan tersebut dihapuskan.2
Pada dasarnya pengadaan visum et repertum psychiatricum diperuntukan sebagai rangkaian hukum pembuktian tentang kualitas tersangka pada waktu melakukan perbuatan pidana dan penentuan kemampuan bertanggungjawab bagi tersangka. Kebutuhan bantuan kedokteran jiwa dalam kenyataanya berkembang bukan sebagai rangkaian hukum pembuktian akan tetapi untuk kepentingan kesehatan tersangka dalam rangka penyelesaian proses pemeriksaan perkara pidana. Bantuan kesehatan jiwa bagi si tersangka ini sangat diperlukan selain menyangkut perlindungan hak azasi manusia juga untuk menghindarkan hal-hal yang tidak diinginkan bagi jiwa dan raga manusia.2,3

DAFTAR PUSTAKA
1.      Kurniawan AM. Peran dan Kedudukan Ahli Psikiatri Forensik dalam Penjelasan Perkara Pidana [Online]. 2010 [cited 2011 Oct 18].  Avalaible from : URL: etd.eprints.ums.ac.id. 
2.      Ilmu Kedokteran Kehakiman [Online]. 2010 Jul 20 [cited 2011 Oct 31]; Available from: URL: http://underlaw98.tripod.com/ilmu_kedokterankehakiman.htm
3.      Hadi S. Standar Profesi Dokter di bidang Kedokteran Forensik [Online]. 2009 Des 08 [cited 2011 Oct 31]; Available form: URL: http://saifulhadielc.wordpress.com/2009/12/08/standar-profesi-dokter-di-bidang-kedokteran-forensik/
4.      Eckert WG.Introduction of Forensic Sciences.CRC Press.2011;2:13-43
5.        Utomo BP. Peranan Ilmu Forensik dalam Usahan Memecahkan Kasus Kriminalitas. avalaible from: www.medscribd.com. Updated 5 Agustus 2011


Tidak ada komentar:

Posting Komentar